Selamat membaca ya^^
Follow wattpad aku yuk!☻︎♡︎
Setelah tamatkan cerita ini bakal nulis cerita baru, biar kalian ga ketinggalan yg tentunya bakal seru juga(ง'̀-'́)ง☺︎︎♥︎♡︎♥︎☺︎︎
Artala sedikit lebih lega setelah mendengar cerita masa kecilnya dari ibu panti yang sudah tua itu. Tapi ia tak yakin itu adalah perasaan lega, karena dasarnya yang ia rasakan hanyalah rasa sesak yang tak ada akhirnya.
Saat ia berjalan lesu karena merasa seluruh badannya sakit, anak laki-laki itu malah dikejutkan dengan keberadaan Naja di luar perkarangan panti. Ia langsung menghampiri Naja di sana.
"Sorry, Ja. Gue nggak maksud pergi gitu aja, tadinya mau sebentar doang tapi jalanan ramai parah."
"Iya, nggak papa. Ayo! Buru ke rumah sakit, dokter udah ngehubungi gue tadi," balas Naja. Namun, saat ingin melangkah mendekat pada mobilnya, Naja malah berbalik menyadari sesuatu dari wajah Artala yang pucat.
Ia menyentuh pelan bahu Artala yang terluka di balik hoodie tersebut. "Bahu lo baik-baik aja, 'kan? Eh?" Naja mengernyit merasakan suhu badan Artala yang sangat panas. "Anjir! Badan lo panas banget."
"Buru ah! Pusing," sahut Artala berjalan menuju ke mobil Naja. Ia masuk ke mobil itu dan langsung menyandarkan tubuhnya. Rasanya memang sudah tidak sanggup bergerak lagi.
Naja pun menyusul, ia khawatir saat merasakan suhu tubuh Artala tadi. Sepertinya Artala demam, pasti hal itu terjadi karena pembengkakan pada bahu dan tulang rusuknya.
***
"Jangan pergi sesuka hati seperti waktu itu, oke?" ujar dokter kepada anak laki-laki itu yang terbaring lemah di bangsal putih rumah sakit.
Ia hanya mengangguk kecil sambil terus mencoba meredakan rasa pusing di kepalanya dan sakit di seluruh badan yang semakin menusuk.
Dokter mengatakan beberapa hal pada Naja sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu.
Kini Naja menatap Artala yang memejam matanya di sana. Anak laki-laki itu terlihat benar-benar kesakitan.
"Sebenarnya gue mau ajak lo bicara, tapi lo istirahat aja deh. Nggak tega gue. Ntar ada apa-apa bilang, jangan diem," ujar Naja lalu duduk di sofa kecil milih ruangan itu.
Naja memang sedang sibuk dengan ponselnya, tapi ia melihat ada yang aneh dari Artala yang terbaring di depannya. Anak laki-laki itu terus menatap langit ruangan serba putih itu tanpa berkedip. Naja memperhatikan itu.
Tak lama Artala tiba-tiba menoleh, ia menggerakkan tangannya lemah meminta Naja mendekat karena ia tidak sanggup berbicara dengan volume yang besar untuk Naja yang duduk agak berjauhan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔︎ TEMARAM | END
FanfictionJika masa kecilnya itu rusak, maka dewasanya hancur. Nyatanya kekerasan tidak diberi padanya untuk dilupa. Kesedihan juga tak datang padanya untuk digambarkan. Hanya Artala, yang memendam luka terdalam semasa hidupnya. "Sudah temaram."