25. A Broken Childhood Too

186 33 1
                                    

Selamat membaca ya><💗💗 Renjun pasti bangga😎🤝

Coba baca prolog lagi, ada banyak yang aku tambah untuk diceritakan ulang di sana biar nyambung hehe^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Coba baca prolog lagi, ada banyak yang aku tambah untuk diceritakan ulang di sana biar nyambung hehe^^

***

Anak laki-laki itu mendongak melihat wanita tua yang duduk lebih tinggi darinya tanpa membuka tudung jaket.

"Apa Artala dari panti asuhan ini?"

Sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat, matanya berkaca dan langsung menangkupkan wajah anak laki-laki di hadapannya. Selang beberapa detik air matanya jatuh karena tak kuat melihat kondisi wajah Artala yang dipenuhi luka.

Ia sampai bingung harus menjawab pertanyaan Artala lebih dulu atau bertanya dari mana luka itu berasal. Ia khawatir saat menatap anak ini yang tampak menyimpan banyak luka di mata yang mulai sayu itu.

Tangan Buna Tami yang bergetar membuka topi jaket milik Artala pelan takut terkena luka di pelipis Artala. Ia meminta Artala untuk duduk lebih tinggi, ia ingin sekali memeluk anak itu. Karena Tami yakin ia sedang tidak baik-baik saja.

"Buna mau peluk kamu, anak hebat buna," ucapnya bergetar dan tersenyum getir pada Artala.

Dari ucapan wanita tua itu Artala mengerti dan tahu apa maksudnya. Ia memang tidak salah untuk menuju ke tempat ini. Namun, saat mendengar kalimat tadi juga mendapat pelukan dari buna, Artala merasakan matanya mulai memanas seperti kemarin malam saat di tepi danau.

"Luka ini dari mana, Artala?" tanya buna mengelus pelan punggung anak laki-laki itu.

Tami bisa merasakan Artala yang menyandarkan dagu pada bahunya lalu menghela napas berat. Ia merindukan anak laki-laki itu, ia khawatir dengan kondisinya.

"Artala cuma ngelakuin apa yang seharusnya Artala lakukan, tapi itu kesalahan bagi banyak orang, Buna. Termasuk Zelia," ucap Artala di tengah sekuat tenaganya ia menahan sesak di dadanya karena tangis yang sudah tidak tertahan.

"Kenapa nggak dari lama mereka ngasih tau ini? Kenapa harus menyiksa lebih dulu? Artala pikir ini semua karena Artala pernah buat salah di masa lalu, Buna. Di masa kecil yang nggak Artala ingat sama sekali."

Buna tak berhenti meneteskan air mata saat mendengar kalimat demi kalimat yang disampaikan anak laki-laki ini.

"Di sana ada banyak orang, Buna. Tapi semuanya seolah suka dan biarin Artala jadi samsak papa setiap harinya." Artala menarik napas panjang lalu menghembusnya pelan. "Artala dilarang buat mengeluh di sana, Buna. Jadi Artala minta maaf kalau sekarang harus ngeluh gini."

✔︎ TEMARAM | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang