Selamat membaca💗
***
Minta Feedbacknya boleh, 'kan?:(
Makasi🥰💗
¥¥¥
Anak laki-laki itu berjalan melewati malam yang dingin seorang diri. Dengan segala rasa sakit di tubuhnya, Artala menahan sekuat tenaga agar tak mengeluh lagi.
Bis kota hanya membawanya sampai ke halte terakhir, dan berlanjut dengan Artala yang berjalan kaki memasuki jalan gelap tanpa ditemani oleh cahaya apa pun.
Setiap langkahnya yang tertatih, Artala terus memikirkan kepada siapa ia harus mengeluh kesakitan. Kepada siapa ia harus marah dan meluapkan rasa sakitnya saat ini.
Ingin memaki, mencerca mereka dengan beribu kosa kata yang ada. Tapi bukankah ia yang membuat semuanya menjadi begini? Bukankah ini juga kesalahannya sendiri karena terlalu ikut campur?
Memang benar ia yang mencaritahu, Artala sudah mengetahui banyak hal. Tapi mengapa semuanya terjadi begitu saja tanpa ia melakukan apa pun? Artala hanya bergerak untuk mengetahui, tapi belum bergerak untuk memberitahu.
Ia belum memberitahu Nita, tetapi Nita sudah lebih tau. Ia juga berharap tidak bersaudara dengan Zelia, gadis yang sangat disayanginya, tapi apa tidak ada jalan lain selain dirinya yang bukan anak kandung keluarga itu?
Apa tidak ada cara lain selain menyakiti perasaan juga hatinya setelah fisiknya juga dirusak?
Belasan tahun ia hidup dengan menerima kekerasan pada fisiknya, tapi kali ini begitu bertubi-tubi datang merusak hingga ke hati kecilnya.
Artala menghabiskan waktu beberapa menit untuk melewati jalan gelap itu sampai ia bertemu dengan tempat yang dipenuhi lampu kecil. Danau yang ia kunjungi setiap ia merasa sangat kesepian.
Tempat ini memang sepi, tetapi Artala senang dan merasa lebih baik saat ia menginjakkan kakinya si tempat ini.
Artala kesepian, bahkan sangat kesakitan.
Bolehkah ia berharap seseorang datang dan memeluknya? Tapi orang yang sangat diharapkan Artala itu jelas mustahil kedatangannya. Gadis itu sudah lebih dulu membencinya, apa Artala punya hak untuk mengharapkan Zelia lagi?
Ia duduk di pinggir danau itu, menengadah menatap langit malam itu yang terlihat mendung. Hawa di sana juga sangat dingin, sedangkan Artala hanya memakai baju kaos biasa tanpa memakai luaran apa pun seperti jaket.
Kaos berwarna cream yang terdapat tetesan darah segar Artala tadi.
Saat ia ingin menekukkan kakinya, Artala merasakan bagaimana gerakannya membuat rusuknya berdenyut lagi. Artala segera memegang perutnya, tepat di mana rusuk itu berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔︎ TEMARAM | END
FanfictionJika masa kecilnya itu rusak, maka dewasanya hancur. Nyatanya kekerasan tidak diberi padanya untuk dilupa. Kesedihan juga tak datang padanya untuk digambarkan. Hanya Artala, yang memendam luka terdalam semasa hidupnya. "Sudah temaram."