✧Epilog

228 25 0
                                    

Sudah tiga tahun berlalu, tapi perasaan Zelia masih sama. Dia masih sangat kehilangan Artala dalam hidupnya. Zelia memang sudah ikhlas, tapi belum ada yang bisa menggantikan posisi Artala baginya.

Di umur kuliah tahun ketiga ini, bahkan dari tahun pertama di dunia perkuliahan, Zelia tidak dengan orang tuanya. Orang tuanya harus hidup di balik jeruji besi karena melakukan pembunuhan berencana pada dua anak yang tak bersalah pada mereka.

Ayden dan Artala...

Hidup Zelia tentu tidak semulus itu setelah diharuskan tinggal bersama Jevan. Dia kadang merasa tak enak dan memilih untuk pergi seorang diri walau akhirnya kembali lagi. Berulang kali Zelia mencoba berdamai dengan hidupnya, mencoba menerima fakta bahwa lama tak lama dia memang harus kehilangan orang tua.

Di sini Zelia, di pameran lukisan miliknya. Sebagai mahasiswi tahun ketiga, Zelia sudah bisa membuka pameran lukisan sendiri.

Ya, seperti tentang mimpi yang pernah diucapnya pada Artala. Tentang dia yang sangat ingin memamerkan lukisannya di sebuah tempat yang sering disebut pameran.

Banyak orang yang masuk ke tempat itu, karena saat ini Zelia sukses dengan lukisan-lukisan hasil gores tangannya sendiri.

Dari banyak lukisan yang terpajang di sana, hanya satu lukisan yang sangat disukai Zelia.

Lukisan yang menggambarkan satu hal untuk semua yang ingin ia sampaikan pada Artala. Satu gambar yang menggambarkan bagaimana Zelia berjanji akan melakukan hal itu jika Artala bisa dilahirkan kembali, tapi itu jelas mustahil.

Di bawah lukisan itu terdapat banyak sekali kata-kata yang disusun Zelia sampai membentuk kalimat panjang yang saling menyambung satu sama lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di bawah lukisan itu terdapat banyak sekali kata-kata yang disusun Zelia sampai membentuk kalimat panjang yang saling menyambung satu sama lain.

Kalimat demi kalimat yang Zelia sebut sebagai "Elegi Artala" dia berusaha menuliskan kata yang pastinya sangat ingin diungkapkan Artala dulu. Zelia menyiapkan semuanya dengan baik.

Dari gambar itu tergambar jelas bagaimana penampilan Artala saat terakhir kali Zelia bisa memeluknya. Zelia sangat mengingatnya, Zelia sangat mengingat bagaimana Artala yang menghabiskan harinya dengan jaket hoodie itu.

Zelia mengingat dengan baik wajah Artala saat terakhir kali bersamanya.

Sedangkan gambar di mana Zelia ingin memberikan lentera, menggambarkan bagaimana Zelia sangat ingin menyelamatkan Artala. Namun, jelas terlihat Artala tak sempat untuk menerima hal itu.

Temaram yang dulu menyelimuti Artala, ingin disingkirkan oleh Zelia tapi semua sudah terlambat. Temaram pun sudah berakhir bersamaan dengan Artala yang berakhir dengan napasnya yang tersengal hebat.

Zelia menatap lukisan itu dengan senyum kecil dan mata yang berkaca, siap untuk meneteskan air mata.

"Aku rindu, Artala. Tapi mustahil namanya untuk berharap kamu ada di sini lagi."

"Artala, aku berhasil buka pameran lukisan ini. Sesuai dengan apa yang aku bilang dulu ke kamu."

"Walaupun kamu nggak temenin aku di sini," lirih gadis itu. Suaranya mulai bergetar. "Artala, kalau kamu lihat ini, kamu harus janji kamu bahagia di sana ya."

"Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, Gyan Artala Zalangga."

***

Kisah Zelia Amoara dan Gyan Artala Zalangga tidak akan pernah dilupakan siapa pun. Tentang manusia hebat bernama Artala itu tidak akan pernah dilupa oleh seorang pun, sekalipun itu mereka yang sudah berlaku jahat pada anak laki-laki itu.

Karena bagaimanapun mereka mencoba untuk lupa, temaram itu sudah datang perlahan. Zelia sendiri sudah merasakannya, Zelia sudah merasakan bagaimana temaram yang dimaksud Artala. Dia menerima begitu banyak masalah di hidupnya setelah Artala pergi.

Menandakan bahwa satu persatu orang yang pernah berlaku jahat pada anak itu juga akan merasakan apa itu sekarat.

Artala Zalangga sudah beristirahat dengan tenang...

***

! THE END !

✔︎ TEMARAM | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang