Happy Reading everyone!!❣️
Jangan jadi sider dong🤧***
Artala menarik napasnya lalu membuangnya lagi sebelum mengetuk pintu berwarna coklat tua di hadapannya saat ini. Ia mencoba menetralkan emosinya yang nyaris tidak terbendung.
Perlahan tangannya mulai mengetuk pintu itu sampai mendengar balasan dari orang di dalam sana.
"Masuk," ucap Adhinata–Papa Artala.
Cowok itu masuk ke ruang kerja Adhinata yang ada di rumahnya dan langsung menghampiri papanya itu. "Pa."
"Ada apa?" balasnya datar.
"Tolong minta Adeline buat berhenti," pinta Artala dengan nada memohon. "Adel udah berlebihan, Pa."
"Itu pilihanmu sendiri. Jika tidak ingin teman atau orang sekitarmu terluka, maka kamu yang harus menjauh dari mereka. Hargai Adeline!"
"Tujuannya apa sih, Pa? Papa nggak takut kalau nantinya Adeline malah tindak gegabah dan ngehabisi nyawa orang lain? Papa yang harus tanggung jawab bukan?" Sorot mata Artala menggambarkan emosinya saat ini.
"Kamu ikuti saja yang sudah saya atur–"
"Gyan udah hampir delapan belas tahun, Pa. Seumur hidup Gyan semua diatur Papa, Gyan juga punya hak atas hidup Gyan sendiri!"
Adhinata yang tadinya membalas ucapan Artala sambil membaca tulisan pada kertas-kertas pekerjaannya, kini mengangkat wajah dan menatap Artala.
"Keluar kamu!" sahutnya.
"Papa punya kerja sama dengan keluarga Adeline?"
"Bukan urusan kamu."
"Buat apasih, Pa? Harta Papa nggak cukup? Mau seberlimpah apa, Pa? Meninggal juga ninggalin itu semua. Papa berbagi ke orang susah juga nggak pernah, semua yang Papa butuh ada di depan mata. Nggak perlu terus-terusan kerja sama dengan perusahaan orang yang sebenarnya masih ada jalan lain–"
Kalimatnya terputus, Artala tersungkur. Ia lagi-lagi dipukul hanya karena bersuara.
Artala sudah bergerak ingin bangun dari sana, tapi sebuah benda berhasil menghantam kepalanya lagi. Artala tidak tahu benda apa itu, rasanya seperti kamus tebal dengan ribuan halaman. Benda itu menciptakan suara yang begitu besar saat menghantam kepala Artala.
Telinganya berdengung dan denyut di kepalanya sangat menyakiti anak laki-laki itu. Pukulan itu cukup kuat dari yang sebelum-sebelumnya. Segera ia bangun dan berdiri dengan baik lalu menatap papanya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔︎ TEMARAM | END
FanfictionJika masa kecilnya itu rusak, maka dewasanya hancur. Nyatanya kekerasan tidak diberi padanya untuk dilupa. Kesedihan juga tak datang padanya untuk digambarkan. Hanya Artala, yang memendam luka terdalam semasa hidupnya. "Sudah temaram."