Selamat Membaca^^💗
Jangan lupa votenya yah🤳🏻🥺💗👍🏻
🦊💗
¥***¥
Artala diantar Naja untuk kembali ke rumah Nita, anak laki-laki itu kembali hanya untuk mengambil seragamnya. Awalnya begitu saja, ternyata ada Adhinata di sana.
"Bawa semua barang kamu, tinggalkan kartu rekening juga kunci motormu. Semua milik saya, kamu silakan kembali ke tempat asal kamu sendiri. Panti asuhan itu masih akan menampungmu walaupun kamu akan kembali membawa kesialan untuk mereka nantinya."
Anak laki-laki itu terdiam tak menjawab satu kata pun, dan ternyata Naja mengikutinya di belakang. Naja tampak mendorong pelan Artala bermaksud agar temannya itu melanjutkan langkah untuk menuju ke kamarnya.
"Syukurlah kalau ada yang berniat menampungmu, tentunya dia orang bodoh," ucap Adhinata membuat tangan Naja terkepal kuat saat itu juga.
"Tunggu saya, Artala. Ingat kalau saya membencimu karena membuat Nita membatalkan semua hak warisan milik saya."
"Jangan harap hidup kamu aman!"
Naja berdecak kesal, ia berbalik lalu mengucap satu kata sebelum akhirnya menyuruh Artala lanjut menaiki anak tangga.
"Stress!" balas Naja. "Nggak usah didenger."
Dua remaja itu pergi menaiki anak tangga, masuk ke kamar Artala. Namun, Artala menghabiskan waktu yang lama saat berdiri di ambang pintu kamarnya.
Rumah ini memang sangat menyakitkan, tapi meninggalkannya pun juga sangat menyakitkan. Jika sebelum ini ia tahu pahitnya hidup di dalam rumah ini, maka untuk selanjutnya ia akan mengerti pahitnya kehidupan di luar sana seorang diri tanpa orang tua.
Naja ikut terdiam melihat Artala yang terus mengedarkan pandangan ke seluruh isi kamarnya. Naja mengerti seberapa Artala menyayangi tempat itu. Tempat di mana Artala harus menetap saat ia baru saja disakiti Adhinata dan dilarang untuk bersedih oleh Nita.
Naja juga melihat ke bagian rumah yang lainnya, ia membayangkan seberapa kerasnya hidup Artala selama belasan tahun ini. Naja memang tahu hidup orang di luar sana banyak yang jauh lebih menyakitkan, tapi bagi Naja itu tidak ada bedanya dengan apa yang diterima Artala selama ini.
Malam tadi sebenarnya Naja sedikit lega, karena menyadari bahwa Artala baru saja menangis. Hal yang ia harapkan dari kecilnya dulu. Ia senang bisa melihat Artala mengaduh kesakitan, bukan seperti hari-hari sebelumnya di mana anak laki-laki itu hanya diam, menggeleng atau mengangguk saja.
Menghabiskan beberapa saat di ambang pintu, akhirnya anak laki-laki itu masuk, begitu juga dengan Naja. Artala terlihat mulai memandangi penghargaan dan piala yang selama ini kumpulkan. Sedangkan Naja langsung menuju ke lemari pakaian temannya itu.
"Nggak usah bingung, ambil semua yang mau lo bawa. Lo juga punya kamar di rumah gue," ujar Naja.
Artala berbalik, menatap Naja yang mulai mengemasi pakaiannya. Ia tersenyum kecil sebelum akhirnya mengangguk, entah mengapa matanya kembali memerah. Ia senang karena setidaknya ia masih memiliki Naja, orang yang selalu membuatnya merasa lebih aman.
Berulang kali Artala mengucapkan terima kasih pada temannya itu, berulang kali juga Artala meminta maaf.
"Lo langsung ganti baju gih, ntar barang lo biar gue yang bawa. Udah jam berapa nih," ucap Naja.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔︎ TEMARAM | END
FanfictionJika masa kecilnya itu rusak, maka dewasanya hancur. Nyatanya kekerasan tidak diberi padanya untuk dilupa. Kesedihan juga tak datang padanya untuk digambarkan. Hanya Artala, yang memendam luka terdalam semasa hidupnya. "Sudah temaram."