SELAMAT MEMBACA YA^^ 💗 jangan lupa vote dan komennya( ˘ ³˘)♥︎
♡︎♥︎♡︎
☻︎Benda itu menciptakan suara yang luar biasa keras saat menghantam kepala Artala. Kotak aluminium tebal milik rumah sakit yang berisikan alat medis di ruangan itu berhasil membuat Artala kehilangan keseimbangan dan terjatuh di lantai ruang.
Ia langsung meringkuk dan menyentuh kepala belakangnya. Sedangkan tangan satunya digunakan untuk meraih tombol nurse call yang berada di sisi bangsal. Ia menekan tombol itu berulang kali tanpa henti, ia terus menekannya berharap ada yang datang dan menyelamatkannya.
"Naja," panggil Artala di sisa keberaniannya.
Pria berpakaian hitam dengan jaket bertudung itu menyeringai dan tertawa kecil menatap pergerakan Artala yang menurutnya sia-sia. Ia mengangkat tangannya yang menggenggam pisau lipat, menodongnya pada Artala yang terlihat segera menahan tanpa rasa takut terluka.
Ia sedikit terkejut karena ternyata anak ini masih memiliki tenaga dan keberanian. Keberanian karena menahan pisau itu dengan telapak tangannya yang kosong.
Artala jelas bergetar saat orang di hadapannya ini terus menodongkan pisau padanya. Ia ketakutan dan matanya mulai memburam. Air matanya terkumpul, ia takut tidak bisa menyelamatkan dirinya karena tenaganya benar-benar minim.
"Kamu hanya harus mati!" ucap orang itu menekan lagi pisau yang ditahan Artala sekuat tenaga dengan telapak tangannya yang sudah mengalirkan darah segar bahkan menetes di lantai rumah sakit.
Kaki Adhinata menekan dengan sengaja bahu anak itu. Bahu Artala yang belum sedikit pun pulih. Menginjak bahu Artala dengan kuat juga menekan pisau yang ditahan Artala agar tak mengenai lehernya.
Artala bergetar hebat, ia sudah menangis di sana. Rasa takut dan sakit menyetubuhinya. Anak laki-laki itu tak bisa melakukan apa pun lagi selain memanggil Naja dan menekan tombol nurse call yang sepertinya tidak berfungsi di sana.
Ia takut menatap mata Adhinata yang ingin membunuhnya saat itu juga. Di sisa-sisa tenaganya ia memohon dan meringis dalam diam. Ia berharap Adhinata memberinya belas kasih setidaknya membiarkannya hidup untuk menghirup udara di dunia walau dengan sekarat.
"Hancur, Artala! Semua rusak karena kamu! Zelia pergi! Nita juga menarik semuanya dari saya! Itu karena kamu, kamu harus mati!" Adhinata menekan setiap kalimatnya tidak sedikit pun berkeinginan memberi hak anak itu untuk melawan.
Adhinata menarik pisau yang sudah membelah hampir setengah telapak tangan Artala, membuat anak itu menggenggam tangannya dengan segera. Ia menggerakkan kakinya untuk mendorong tubuhnya yang terbaring di lantai rumah sakit.
Artala menggeleng cepat saat Adhinata berjalan mendekat lagi. Ia kehabisan tenaga di sana, tubuhnya terasa semakin panas dan menggigil.
"Naja, tolong," lirihnya dengan air mata yang mengalir dan tak berhenti menatap kaki Adhinata yang melangkah ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔︎ TEMARAM | END
FanfictionJika masa kecilnya itu rusak, maka dewasanya hancur. Nyatanya kekerasan tidak diberi padanya untuk dilupa. Kesedihan juga tak datang padanya untuk digambarkan. Hanya Artala, yang memendam luka terdalam semasa hidupnya. "Sudah temaram."