Eighth

2.3K 243 62
                                    

Masih begitu pagi, tapi ponsel Ravin sudah berbunyi sejak tadi. Mau tidak mau pria itu pun bangun, mengangkat panggilan yang mengganggu di pagi yang cerah ini.

"Halo?"

Mata Ravin yang semula meredup kini terbuka segar. Perkataan orang di seberang sana membuatnya menjadi berprasangka bahwa ucapan Alexa kemarin adalah benar.

"Baik, Terima Kasih, Pak." Ravin mengakhiri panggilannya, dibangunkan nya sang istri yang masih nyenyak di sampingnya.

"Del, bangun."

"Hmm, kenapa?" balas Alexa tanpa mau repot-repot membuka mata.

Ponsel Ravin kembali berdering, kali ini dari tangan kanannya.

"Halo?"

"Pak, ada orang yang mengaku jika perusahaan ini sudah dipindah tangankan. Mereka bilang, pemilik baru perusahaan ini adalah bosnya. Mereka punya surat-suratnya dan telah tertera tanda tangan anda di sana."

Ravin diam, berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. Orang kepercayaannya itu tak akan pernah berbohong padanya, seketika perasaan takut menggerayangi diri pria itu.

"Tunggu saya di sana," putus Ravin. Dengan segera ia bangkit, langkah lebarnya berjalan ke arah kamar mandi dan membersihkan diri.

Tepat setelah Ravin memasuki kamar mandi, Alexa bangun. Gadis itu terduduk mengucek matanya dengan kening mengerut.

"Vin? Are you okay?" tanya Alexa bereriak.

Tak ada jawaban.

Gadis itu terlihat tak peduli, ia hanya mengangkat bahu acuh dan memilih bangkit membereskan tempat tidurnya.

Sudah ia katakan, kan?

Gadis yang kemarin itu aneh.

***
"Del, aku takut," jujur Ravin.

Pria itu tengah bersiap, begitu terburu-buru dan gugup. Sedangkan Alexa santai-santai saja duduk bersandar di kursi rias, satu kakinya naik bertumpu di atas kursi dan satu lagi ia taruh di atas meja tanpa peduli peralatan make up-nya terjatuh ke lantai karena terkena kaki.

"Takut kenapa?" tanyanya pura-pura tak tau, tangannya dengan telaten memasang lipstik merah menyala di bibir manis itu.

"Nanti aku jelasin, ikut aja ke kantor," tutur Ravin.

Alexa mengangkat bahunya tak mau. "Ogah, pergi sendiri aja sana. Gue juga sibuk di kantor," bohongnya.

Ravin menghela nafas panjang, salahnya juga tak mendengarkan perkataan Alexa. "Sebentar aja, Del."

"Duluan aja, nanti aku nyusul. Masih ada beberapa hal yang harus aku cek di kantor," jelas Alexa.

"Janji, ya?" ucap Ravin.

"Hmm."

Ravin mengangguk saja, yang penting Alexa sudah berjanji. Gadis itu tak akan pernah bisa mengingkari janjinya.

Seperginya Ravin, Alexa segera bangkit. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di tempat tidur untuk menghubungi seseorang.

"Bagaimana?"

"Aman, Nona."

"Bagus, lanjutkan. Jangan sampai dia tau."

"Baik, Nona."

Tutt

Senyum miring tercetak jelas di wajah manis itu. Rencana ini pasti
akan merubah sesuatu.

***

"Maaf, Pak. Tapi anda sendiri yang bertanda tangan di sini." Tunjuk orang itu pada sebuah kertas perjanjian di dalam sebuah map coklat.

"Saya tidak pernah menandatangani surat perjanjian apapun, Tuan. Ini pasti salah, perusahaan ini masih milik saya," bantah Ravin.

Pintu ruangan seketika terbuka, menampilkan Alexa yang kini tengah berjalan mendekat dengan begitu anggun, berbanding terbalik dengan sikap aslinya.

"Ada apa ini?" tanyanya.

"Tuan Ravindra menentang bukti bahwa perusahaan telah berpindah kekuasaan ke pada atasan kami," jelas orang itu.

"Siapa atasan kalian?" tanya Alexa lagi.

"Beliau tidak ingin disebut identitasnya, lebih baik anda sendiri yang menghubunginya," saran orang itu.

"Ohh, gak perlu. Ini bukan permasalahan saya! Ikut campur dalam permasalahan perusahaan orang adalah perbuatan yang tidak sopan, kan?" tolak Alexa sekaligus menyindir suaminya.

Ravin menghembuskan nafas lelah, ia bersandar seraya memijit pangkal hidung guna menghilangkan rasa pening yang menghampiri.

Kertas bermap itu Alexa ambil, dibacanya dengan teliti dan benar-benar menemukan tanda tangan Ravin di sana. Tak salah lagi, inilah kertas yang ia lihat kemarin.

"Ini benar tanda tangan kamu," tutur Alexa. "Berikan saja," ucap gadis itu lagi dengan gampang.

Ia tak tau bagaimana perjuangan pria itu membangun perusahaan hingga menjadi sebesar ini, dan tiba-tiba seseorang mengaku bahwa ini adalah milik mereka. Bahkan istrinya sendiri memintanya menyerahkan saja dengan cuma-cuma.

Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Ravin sekarang, tentu saja kacau.

"Gini aja, kasih saya waktu beberapa hari. Masalah ini kita serahkan ke pihak berwajib, saya akan menyewa pengacara dan sampaikan kepada atasan anda untuk melakukannya juga," putus Ravin.

Baginya ini pilihan terbaik. Satu-satunya jalan teraman yang ada di pikirannya hanya ini.

Orang itu mengangguk setuju, ia berdiri dan pamit karena harus segera menghadiri beberapa pertemuan juga.

Ting.

Ponsel Ravin berdenting tanda pesan masuk, dibacanya dengan teliti isi pesan itu. Pesan yang dikirim dari orang suruhannya untuk mencari informasi tentang masalah ini.

Rahangnya seketika mengeras, matanya berkilat marah saat selesai membaca seluruh isi pesan tersebut, ditatapnya sang istri yang masih setia berdiri semenjak datang tadi.

"Maksud kamu apa?!" marah Ravin.

"Apa? Maksud apa?" bingung Alexa.

"LO PENIPU!!"

Jangan lupa votemen 🌟
Tunggu nextnya Minggu depan,
Ya😉

Salam
Ravin&Alexa♥️

27 Juni 2020

Dark Light (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang