Thirteenth

2.1K 227 7
                                    

Gadis itu berdiri angkuh seraya melihat dua tangannya di depan dada. Wajah tak berekspresi itu terus menatap objek di hadapannya dengan sikap tenang.

Di belakang ada Ravin yang juga ikut terdiam. Objek yang ia tatap bukanlah orang yang ditatap pula oleh gadis itu. Matanya terus tertuju pada sang istri, menunggu apa yang akan gadis kesayangannya itu lakukan.

Helaan nafas lega keluar begitu saja dari Alexa. Bibirnya tersenyum manis, meski begitu, sebuah tetesan malah jatuh dari pelupuk matanya.

"Gak sia-sia! Gue berhasil! Rachella pasti senang, pria brengsek yang sudah melukai dia akhirnya terjerumus juga di tempat yang lebih pantas!" tutur Alexa.

Mendengar itu David menggeleng mengelak. "Itu bukan aku, Alexa. Kamu salah."

Kekehan sinis seketika terlontar. "Masih mengelak?! Pengecut!"

"Kamu salah! Yang aku omongin tadi hanya halusinasi karena terlalu takut."

Lagi-lagi Alexa menghela nafas. "Udah di penjara tapi masih bisa membela diri! Lo manusia apa bukan, sih?" jengahnya mulai tersulut emosi.

"Del, sabar," sela Ravin mengusap pundak gadis itu.

Alexa berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan David yang terduduk di dekat sel. "Mau dengar cerita?"

Pagi itu Alexa tengah berdiri menunggu lift berdenting. Ia akan mengajak sahabatnya Rachella untuk menghabiskan waktu bersama.

Mereka jarang sekali akur, ada saja hal-hal kecil yang bisa memicu perkelahian antara dua sahabat itu.

Misalnya dalam hal berpendapat, mereka pernah pergi berbelanja bersama. Dengan iseng Rachella menunjuk seorang pria tampan dengan jas putih yang menggantung di tangannya tengah berjalan menyusuri pusat perbelanjaan tersebut.

Menurut Rachella dia tampan dengan tubuh tegap nan proporsional. Jika pria itu tak membawa jas dokter, mungkin ia akan berfikir bahwa pria itu adalah seorang model.

Namun, berbeda dengan Rachella, Alexa malah berpendapat sebaliknya. Menurut Alexa, wajahnya tak bisa disebut tampan dengan hidung mancung dengan bibir merah muda alami yang kontras dengan kulit putih.

Akhirnya mereka mulai beradu pendapat diselingi sedikit percikan emosi. Alexa malah semakin tersulut saat Rachella membandingkan pria itu dengan Ravindra yang berkulit sedikit coklat dengan alis tebal bagai sengaja diukir menggunakan pensil alis.

Tapi meski begitu, mereka pasti akan akur tanpa acara maaf-maafan terlebih dahulu. Entah bagaimana ceritanya, mereka bisa seperti itu.

Pintu lift yang terbuka membuyarkan lamunan Alexa. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah unit apartemen masih dengan senyum manisnya.

Setelah sampai di depan sebuah pintu, jari lentiknya dengan lihai menekan beberapa digit pin hingga pintu akhirnya terbuka.

Saat masuk, dua alis Alexa menyatu bingung. Biasanya ia akan langsung menemukan Rachella di depan televisi tengah menonton atau hanya sekedar mengecat kuku. Namun, Alexa tak menemukan gadis itu kali ini.

Ia memilih melangkah menuju kamar sahabatnya itu. Langkah yang awalnya cepat berubah menjadi sangat pelan setelah mendengar suara lain dari dalam kamar sang sahabat.

"Gue gak mau! Jangan maksa!"

Alexa memilih bersembunyi, telinganya ia fungsikan semaksimal mungkin demi mendengar apa yang terjadi. Teriakan Rachella dari dalam sana membuat Alexa yakin jika gadis itu tengah bertengkar dengan seseorang.

"Lalu untuk apa kita punya hubungan sampai sejauh ini! Jangan munafik Rachella, gue yakin Lo lebih liar dari yang gue tau!"

Tangannya seketika mengepal kuat. Meski sering bertengkar, Alexa sama sekali tak bisa mendengar sahabatnya direndahkan seperti itu.

PLAKK

Entah siapa pelakunya, Alexa yakin seseorang pasti tertampar.

"DASAR PEREMPUAN SIALAN!"

Setelah suara itu, Alexa tak mendengar suara apapun lagi. Tiba-tiba perasaannya jadi tak menentu. Baru saja ia ingin melangkah, seketika pintu terbuka. Membuat Alexa kembali terdiam di persembunyiannya.

Seorang pria, pria yang Alexa kenal sebagai kekasih sahabatnya. Pria yang pernah Rachella tunjuk secara acak dan mengklaim pria itu tampan saat pertama kali bertemu di mall. Akhirnya mereka bertemu kembali dan jadi semakin dekat.

Seperginya pria itu, Alexa segera masuk ke dalam kamar. Matanya terbelalak saat melihat kondisi sahabatnya yang ...

mengenaskan.

"Sangat disayangkan, Rachella mati di tangan manusia brengsek seperti Lo!" geram Alexa.

Bukannya merasa begitu bersalah, David malah tertawa sinis. "Teman kamu yang bodoh! Terlalu berharap lebih tapi tak mau memberi yang lebih pula!"

"Karena dia bisa membedakan mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus dibuang!" balas Alexa menekan kata terakhir.

"Munafik! Kalian memang sama! Dasar jalang sialan!"

BRAKK

"Alexa, ayo kita pulang," ajak Ravin sebelum terjadi keributan di sini.

Melihat Alexa yang begitu emosi hingga mencengkram dengan keras rambut David dari luar sel membuat pria itu tersenyum puas. Beberapa polisi penjaga pun sudah meminta mereka untuk segera pergi.

"Ayo, Del," ajak Ravin lagi seraya terus menahan tubuh istri kecilnya. Biarpun kecil, gadis itu bisa semakin kuat saat emosi seperti ini. Itulah mengapa ia harus tetap waspada meski Alexa hanya diam dengan tangan mengepal setelah dilerai oleh beberapa polisi.

"Tunggu apalagi?! Kalian sudah di usir dari sini!" angkuh David.

"Ya, tapi masih ada satu fakta yang mau aku sampaikan," tutur Alexa.

"Tak perlu, tidak penting!" tolak David.

"Ini penting, Sayang!" sarkas Alexa. "Sebenarnya, Ravin bukan saudara gue," sambungnya.

"Ohya?! Apa saya harus percaya?!" remeh David.

"Tentu," balasnya memperhatikan cincin yang terpasang cantik di jari manisnya.

"Kami sudah menikah!"

Jangan lupa votemen 🌟
Jangan sider
Dosa loh😉

Salam
Ravin&Alexa♥️

22 Agustus 2020

Dark Light (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang