Eighteenth

1.6K 183 28
                                    

"Del," panggil Ravin.

"Del."

"Del."

"Adel."

Melihat tak ada respon apapun dari istrinya, Ravin pun memilih mendekati Alexa yang masih menikmati kesendirian di balkon kamar.

"Alexa," panggil Ravin lagi seraya menyentuh pundak gadis itu.

Dan usaha Ravin berhasil, istrinya berbalik menatap dirinya dengan kening mengerut, membuat Ravin menggeleng heran.

Pantas saja gadis itu tak menghiraukan panggilannya, ternyata ada sesuatu yang menyumbat telinga Alexa.

Tangannya terulur untuk melepas benda itu kemudian disimpan dalam saku piyamanya. "Aku mau bicara," ungkap Ravin.

"Ngomong aja kali," jawabnya memutar bola mata malas.

"Apalagi yang mau kamu lakuin?" tanya Ravin.

Alexa mengerut bingung, seolah tak mengerti apa yang telah diucapkan sang suami. "Maksudnya?"

"Tadi atasan kamu telepon dan dia tanya perihal janji untuk berkunjung ke hotel yang letaknya di luar kota! Mau ngapain, heh?"

"Dia setuju?"

"Pasti setuju! Gak ada laki-laki yang bisa menolak godaan, Alexa!"

"Kamu ngomong apa, sih?! Kamu pikir aku seburuk itu!" sela Alexa tak suka.

"Jadi, apa? Ada alasan yang masuk akal untuk meminta laki-laki pergi bersama ke hotel yang jauh dari kota?!"

"Maksud kamu apa?" tanya Alexa mulai emosi.

"Gak usah pura-pura bodoh! Ada hubungan apa kamu sama si Allardo itu?!" marah Ravin. Ini kali pertama Alexa melihat sang suami marah setelah sekian lama.

Karena terlanjur disulut emosi. Gadis itu pun ikut menatap suaminya dengan tatapan tajam. Ia tak takut sama sekali melihat pria itu mengepalkan tangan kuat dengan tubuh bergetar menahan amarah.

"Bukan urusanmu!"

Alexa berlalu sebelum sesuatu yang ia hindari terjadi. Untuk sementara biar saja Ravin tak tau, ia belum bisa mengatakan semuanya pada siapapun.

"ALEXA!"

Tangannya ditarik kuat hingga terlempar ke atas tempat tidur. Ravin benar-benar berbeda, pria itu sudah benar-benar dikuasai amarah.

Satu tangannya menahan rahang Alexa dan tangan lain menggenggam erat pergelangan tangan gadis itu.

"Sudah aku katakan jangan berulah! Sekarang, aku akan menghukum mu, Alexandra!"

***

Drrrttttt

Getaran ponsel membangunkan seseorang dari tidurnya. Ia menoleh ke arah nakas guna menemukan benda tersebut.

"Halo?"

"Siapa ini? Apa Nona Adelia tidak bekerja hari ini?"

Ravin mengerut bingung, dilihatnya nama yang tertera di sana baru ia tau ternyata ini ponsel sang istri yang ia sita semalam.

"Adelia sedang sakit, jadi dia tidak bisa masuk kerja untuk hari ini."

Tutt

Telepon dimatikan sepihak. Ponsel itu ia letakkan di tempat semula. Kini pria itu menatap wajah damai sang istri yang tertidur pulas.

Pikirannya kembali pada kejadian semalam. Ia tersenyum bahagia saat Alexa bisa menjaga apa yang menjadi haknya selama ini.

Tak henti-hentinya Ravin berterima kasih semalam. Ini pengalaman pertama yang tak akan ia lupakan.

Diusapnya bibir memerah itu, ia terkejut mengingat Alexa yang menolak keras. Namun, lambat laun istrinya malah mulai menikmati.

Alexa seketika berbalik memunggungi Ravin, mungkin merasa tak nyaman ditatap terus menerus oleh sang suami.

Bukannya marah, Ravin malah semakin mengeratkan pelukannya. Dikecupnya bahu polos sang istri dan memilih untuk menikmati kenyamanan ini dibanding harus bangun dan berangkat bekerja.

"Vin," panggil Alexa dengan suara khas bangun tidurnya.

"Hem?" balas pria itu dengan mata terpejam menikmati pagi yang langka ini.

"Lepas! Gue mau kerja," tutur Alexa berusaha melepas pelukan erat sang suami.

"Gak, hari ini kamu gak boleh kerja!"

Alexa mendelik tak suka. "Kenapa?!"

"Emang gak cape, hmm?" goda Ravin.

Seketika Alexa diam, otaknya baru saja mengulang kejadian semalam.

Mendengar Alexa tak merespon apapun, Ravin akhirnya membuka mata, memeluk sang istri dengan lembut. "Maaf untuk semalam, kamu benar-benar buat aku marah."

Alexa berdehem sebentar, berusaha menghilangkan kegugupannya. "Hem, lupakan!" ucapnya ingin beranjak.

Namun, belum sempat kaki Alexa menyentuh lantai, Ravin sudah lebih dulu mengangkat tubuhnya hingga berpindah ke atas tubuh pria itu.

"Kamu marah? Kalau kamu marah itu artinya kamu bukan istri yang baik," canda Ravin.

"Aku gak marah," bantah Alexa.

"Terus, kenapa jutek?"

"Lagi males, aku capek!"

Ravin tertawa pelan. "Gimana semalam?"

"Gimana apanya?"

"Jangan pura-pura bodoh, kamu tau maksud aku," goda Ravin lagi.

"Biasa aja," balas Alexa malas.

Ravin tertawa gemas, mengingat bagaimana Alexa semalam ia tak yakin dengan pernyataan gadis itu.

"Aku harap, akan ada kehidupan lain yang hadir di sini," harapnya mengusap perut Alexa.

***
Tak tak tak

Langkah sepatu ber-hak tinggi itu memecah keheningan di tempat sunyi ini. Dengan pakaian hitam elegan, mata tajam yang tertutupi kacamata hitam serta tangan yang membawa serangkaian bunga mawar putih membuat siapapun yang melihatnya tau ke mana ia akan berkunjung.

Pemakaman.

Langkah itu terhenti di sebuah nisan yang terlihat bersih dan rapih. Diletakkannya bunga tersebut di atas sana, senyum gadis itu tampak begitu manis.

"Halo? Kita bertemu lagi setelah sekian lama," sapa Alexa.

Mesti tau ia tak akan mendapat respon, gadis itu masih tetap setia memandang nama yang tertera di sana.

Tangannya terulur mengusap ukiran cantik itu. "Aku ke sini bukan untuk mengujungimu, tapi untuk memberikan kabar baik. Mungkin di sana kamu sedang sendiri, jadi karena aku orang yang baik, aku akan segera memberikan teman untukmu."

Satu alisnya terangkat angkuh. "Istirahat yang tenang, ya. Semoga orang-orang seperti kamu tak ada lagi di dunia ini!"

Alexa berdiri, merapikan pakaian yang sedikit kotor. Ditatapnya nisan itu sekali lagi kemudian berbalik hendak pergi.

Namun, kakinya kembali berputar memandang nisan tersebut. Senyum miring seketika terbit di bibir gadis itu.

"Ngomong-ngomong, temanmu itu sama seperti kamu! Sama-sama ...

Pembohong handal!"

Jangan lupa votemen 🌟
Jangan sider
Dosa😉

Salam
Alexa&Ravin

18 Desember 2020

Dark Light (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang