Iridescent | Prolog

18.2K 924 38
                                    

"MAMA BOLA ZEZE HILANG!"

Gadis kecil dengan pipi bulat dan wajah menggemaskan itu berlari kesana kemari sambil menangis kencang. Menoleh ke kanan dan kiri mencari benda yang hilang di Taman komplek perumahannya. Bahkan tak peduli pada hari yang hampir gelap. Kaki mungil-nya masih sanggup mengelilingi taman komplek yang terbilang luas itu.

"Mama, bola dari papa hilang Zeze nggak punya bola lagi."

Gadis kecil itu terduduk di tengah lapang Taman tempat dimana anak-anak sekitar komplek bermain bola atau layang-layang. Adanya Playground membuat taman itu selalu ramai di kala pagi atau menjelang sore. Biasanya kalau pagi dipenuhi dengan orang-orang yang mencari sarapan sekaligus lari pagi, kalau sore akan ramai anak-anak kecil yang masih aktif-aktifnya bermain, termasuk gadis kecil yang terlambat pulang ke rumah sore ini karena mencari bolanya yang hilang.

Ia menunduk memajukan bibir bawahnya, kemudian merangkul lututnya. Wajahnya yang imut terlihat begitu sedih. Meskipun begitu tangisnya sudah mereda, hanya sesenggukan gadis itu yang terdengar.

Gadis itu mengusap ingus yang hampir keluar dari hidungnya. Ia memperhatikan sekitar, bibir tipisnya semakin mengerucut melihat Taman sudah sepi. Ia berdiri, berlari ke arah playground tak jauh darinya, kemudian mengelilinginya, berharap menemukan satu temannya saja.

Dengan lincah gadis mungil itu menaiki tangga menuju rumah-rumahan, mungkin saja ada temannya yang bersembunyi disana namun ternyata nihil, ia tak menemukan siapapun. Dengan rasa kecewa ia turun melalui perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan tersebut lalu melangkah lunglai terduduk diayunan.

Menyadari ia hanya sendirian sekarang di sana, gadis itu kembali merengek. Bukannya ia takut karena sendiri, tapi sedih karena bolanya belum di temukan juga. Dan tidak ada yang bisa membantunya saat ini. Ia jadi tak berani pulang, takut mama marah karena bola hadiah dari papanya saat usia gadis itu masih empat tahun yang menemani gadis itu tumbuh hingga sekarang kini sudah hilang. Tidak tahu kemana. Apalagi bolanya cantik, berwarna merah muda dengan bintang-bintang menghiasi bola itu, gadis kecil yang kini berusia lima tahun itu sangat menyukainya.

Gadis itu mendongak menatap langit masih dengan bibir bawah yang semakin maju ke depan. Tatapannya menurun dengan sorot sendu, menegaskan betapa sedihnya gadis itu saat ini.

"Papa jangan marah ya, bolanya hilang." Gadis itu berbicara seolah papa-nya bisa mendengar ucapannya.
Setelah mengatakannya gadis itu menunduk lagi, namun beberapa detik kemudian mata yang tadinya terlihat sendu kini terbuka lebar dengan tatapan berbinar ketika sebuah bola menggelinding pelan dan berhenti tepat di depannya.

Dengan segera gadis itu langsung melompat turun dari ayunan dan meraih bola tersebut. Memeluk bola itu erat seolah tidak akan membiarkannya hilang lagi.
Gadis itu menengadahkan wajah bulatnya ke langit.

"Papa, bolanya balik lagi ke Zeze. bener kata Mama, kalau itu milik Zeze, walaupun pergi pasti bakal balik lagi. Kayak bola ini." Dia tertawa pelan. "Ya 'kan, Pah?"

"Kayak orang gila, ngomong sendiri."

Gadis itu menoleh cepat, matanya yang basah karena air mata mengerjap polos melihat laki-laki kecil berdiri sekitar satu meter dari tempatnya berdiri tengah memandanginya tanpa ekspresi.

Gadis itu memasang wajah cemberut, masih memeluk erat bola merah muda kesayangannya. "Siapa bilang, aku ngomong sama papa kok," ujar gadis kecil itu tak terima disebut orang gila.

Laki-laki kecil itu mengernyit. Menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan sekitar. "Gak ada orang."

Gadis itu menggeleng. "Bukan disini, tapi diatas sana." Katanya sembari menunjuk langit yang sudah berubah menjadi jingga sore itu. "Kata Mama, Papa sekarang tinggalnya di langit bareng Tuhan."

Laki-laki kecil yang sepertinya seumuran dengan gadis kecil itu hanya diam, mencerna ucapan yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Terasa asing membuatnya tidak paham. Papanya tinggal di rumah bersama bunda dan dirinya. Tidak di langit seperti papa gadis itu. Kenapa berbeda? Kenapa mereka tidak bersama seperti keluarganya? Memangnya bisa membuat rumah dilangit?

"Kenapa kamu sama mamamu nggak nyusul papamu aja?"

Gadis kecil yang memanggil dirinya sendiri Zeze itu menggeleng. "Gak bisa. Nanti ada waktunya sendiri kata mama."

"Oh."

"Iya."

Melihat wajah basah dan juga ingus yang terlihat mengering pada gadis itu membuat laki-laki kecil itu mengeluarkan sebungkus tisu basah kecil dari dalam saku celananya. "Jangan nangis lagi," ucapnya sembari mengelap wajah gadis itu setelah sebelumnya melangkah mendekat. Keduanya terlihat seperti seorang adik kakak.

Mata gadis itu berbinar, tanpa sadar mengangguk cepat begitu patuh. "Makasih ya," ucapnya semakin tersenyum lebar.

Laki-laki kecil itu mengernyit. "Buat?"

Gadis itu tertawa pelan. "Udah bersihin wajah aku dan nemuin bola ini. Makasih ya, soalnya ini bola kesayangan Zeze dari papa." Lagi-lagi gadis itu tersenyum. "Oh iya kamu nemu dimana? Tadi Zeze nyari gak ketemu-ketemu."

"Semak-semak," jawab laki-laki itu malas. Merasa pusing mendengar ocehan gadis seusianya itu. Padahal niatnya hanya mengembalikan bola yang terlempar ke semak-semak. Tadi ia tidur di bangku kayu yang ada di balik semak-semak itu, lalu terbangun gara-gara mendengar suara tangisan super kencang yang ternyata berasal dari anak perempuan yang sekarang ada di hadapannya ini.

Gadis itu mencuatkan bibir. "Kamu jutek ya. Kata mamah gak boleh jadi anak jutek loh, nanti gak punya teman. Harus selalu senyum, kayak gini." Gadis itu dengan polosnya tersenyum lebar sampai dua gigi ompongnya terlihat membuat anak laki-laki itu ingin tertawa.

"Kenalin nama aku Zea Kumari, tapi mamah selalu panggil Zeze jadi kamu juga panggil aku Zeze ya. Kata mama, kalo ketemu temen baru harus kenalan biar akrab." Ocehnya penuh semangat sembari mengulurkan tangan di depan anak laki-laki itu.

Laki-laki kecil itu mendengkus. Merasa aneh karena setiap ucapan gadis itu selalu dijelaskan secara rinci. Meski begitu ia tetap menerima uluran tangan kecil Zea.

"Atlas."

Zea berdecak kagum dengan mata yang berbinar. "Keren!" pekiknya kagum.

"Kamu tahu nggak, kata mama di laut Afrika ada pegunungan Atlas?" tanya gadis itu cengengesan membuat matanya yang sipit semakin hilang tenggelam oleh pipinya yang bulat.

Atlas kecil menatap tanpa ekspresi lalu mengangkat bahu tak acuh. Berbalik dan melangkah pergi membuat Zea segera berlari mengejar dan terus mengoceh sepanjang jalan sampai keduanya tak terlihat lagi.

Sejak saat itu, Zea selalu berada di sekitar Atlas. Merecoki laki-laki bernama Atlas dengan ocehannya. Mengganggu ketenangan Atlas hingga menjadikan Atlas sebagai dunianya.

Bahkan sampai saat ini Zea selalu mengejar Atlas seperti saat mereka pertama kali bertemu. Hanya saja, Atlas tidak pernah tahu.

Bersambung...

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang