Iridescent | Bagian 12

4.1K 490 39
                                    

Aku sama Kakia emang gak mempersalahin siders. Tapi kalo kalian suka sama cerita nya gak ada salahnya kan untuk tekan bintang lalu komen?

Happy Reading, darling❤

"Atlas pulang."

Atlas membuka pintu rumah, menyugar rambutnya yang masih sedikit basah ke belakang sembari meletakan payung yang ia bawa ke tempatnya di sudut ruangan. Ia mengernyit merasakan suasana lenggang di rumahnya.

Biasanya Bundanya akan muncul setelah ia pulang. Apa bundanya sudah tidur?

Pemuda itu memutuskan untuk menaiki tangga, mengecek kamar bundanya namun menaikan alis semakin bertanya-tanya saat ia tak menemukan siapa-siapa di dalam sana. Atlas berbalik, kini mengecek ruang kerja sang bunda yang ada di sebelah kamar. Nihil, tetap tidak ada. Bahkan lampunya pun tidak dihidupkan.

Perasaan Atlas jadi tak nyaman. Tapi pemuda itu masih mencoba berpikir positif. Mungkin saja Bundanya ada panggilan darurat dari rumah sakit. Ia menuruni undakan tangga dengan cepat sembari merogoh kantong jaket. Mengambil ponsel dari sana dan mencoba menelpon bundanya. Dalam hati masih bertanya-tanya apa yang membuat bundanya pergi begitu saja tanpa memberi kabar kalau memang benar ada panggilan darurat dari rumah sakit. Ini tidak pernah terjadi, Biasanya Sedarurat apapun itu Bunda tetap mengabarinya sehingga Atlas tidak kelabakan seperti ini hanya untuk mencari bundanya.

Ia mengecek segala ruangan yang ada di lantai satu. Sampai ia mengecek dapur, tungkainya melemas melihat wanita yang sedari tadi ia hubungi sudah tergeletak tak berdaya di antara pecahan kaca yang sepertinya berasal dari gelas.

"Bunda!" Atlas berlari dengan wajah merebak merah. Terduduk memangku bundanya tak peduli bahkan ketika kakinya tak sengaja menginjak pecahan kaca itu.

"Bangun bunda! Ini Atlas!" Atlas menggoyang-goyangkan tubuh Farah panik. Air matanya sudah menumpuk di kantung mata melihat bundanya tak bergerak sedikitpun dengan wajah pucat pasi.

Atlas mengusap matanya, dengan gemetar menyentuh pergelangan tangan Bundanya yang dingin. Setidaknya sedikit lega merasakan denyut nadi di sekitar sana meski detaknya terasa lemah. Dengan gesit ia menggendong sang bunda, keluar dari rumah dan memasukan bundanya ke dalam mobil tanpa mengindahkan rasa perih di sekitar lutut dan kakinya yang mengeluarkan darah.

Sudah tak bisa berpikir panjang. tanpa mengunci pintu, juga tanpa alas kaki Atlas melajukan mobil dengan cepat malam itu demi menyelamatkan nyawa sang Bunda. Bahkan di saat kakinya penuh luka seperti itu pun ia tetap menancap gas seperti orang kesetanan.

Tak butuh waktu lama tentunya untuk Atlas sampai ke rumah sakit. Selain karena pemuda itu mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, rumah sakit yang di datangi Atlas adalah rumah sakit terdekat dari rumahnya. Bundanya kebetulan bekerja di rumah sakit ini sejak lama.

Tim medis langsung sigap datang dan membantunya ketika Atlas berteriak meminta tolong dengan tubuh lemah sang Bunda di gendongannya.

"Bunda..." lirih Atlas berjalan cepat mensejajarkan langkah dengan brankar yang membawa Bundanya menuju UGD.

Pemuda itu menggenggam tangan Bundanya erat. Sampai di depan ruangan, salah satu suster yang ikut mendorong brankar melarangnya masuk. Dengan berat hati ia melepaskan genggamannya dan membiarkan Dokter memeriksa keadaan sang Bunda.

Atlas meraup wajahnya kasar, berjalan bolak-balik dengan gusar menunggu di depan ruangan.

Atlas bingung, tak tahu harus berbuat apa. Semuanya terasa mendadak. Jantungnya berdegup kencang, pikirannya tak bisa di ajak kompromi. Hanya bayangan-bayangan buruk yang berputar di otaknya. Ia cemas, khawatir dan gelisah dalam satu waktu, di tambah lagi pemuda itu mulai merasakan perih di sekitar lutut dan telapak kakinya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menimpa bundanya membuatnya frustasi.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang