Iridescent | Bagian 21

4.2K 382 4
                                    

Suara peluit membuat semua murid kelas XII MIPA 1 menghentikan aktivitasnya masing-masing. Dari yang asik bermain bola basket, sampai yang kejar-kejaran tidak jelas di pinggir lapangan. Pak Angga selaku guru olahraga mengintruksikan agar semuanya kembali ke kelas karena jam pelajaran olahraga telah selesai.

Zea bernapas lega, lalu melangkah menuju sisi lapangan untuk memberikan bola basket kepada teman sekelasnya yang bertugas menyimpan bola ke gudang. Sejenak melirik pemuda yang tengah membantu memunguti beberapa bola basket yang berceceran di sekitar lapangan bersama siswa lain. Zea menipiskan bibir, rasa-rasanya semakin jauh saja ia dengan Atlas. Ia tak tahu bagaimana caranya memperbaiki hubungan mereka yang renggang ini.

Zea meringis merasakan perih pada luka yang belum kering di telapak tangan ketika teman kelasnya--Wisnu mengambil alih bola basket di tangannya.

"Eh sorry Ze, gue nggak tau tangan lo luka," ucap cowok itu merasa bersalah. Zea hanya membalas dengan senyuman tipis sebelum Wisnu berlalu dari hadapannya.

Cantika dan Mera yang awalnya duduk di bangku semen tak jauh dari Zea langsung menghampiri gadis itu dengan raut wajah khawatir melihat Zea yang tengah memperhatikan luka ditangannya.

"Kenapa, Ze?" tanya Cantika.

"Ya ampun Zea!" Mera menarik tangan Zea. "Gak lo obatin?" tanyanya.

Zea menggeleng. "Lupa."

Mera berdecak. "Luka lo tuh bisa infeksi tahu gak, kalau didiemin gini."

Zea justru tertawa ditatap serius oleh kedua temannya itu. Padahal tatapan Mera dan Cantika sudah sama seperti dokter yang khawatir kepada pasiennya.

"Gue serius," ucap Mera melotot galak.

Zea jadi kicep, tak lagi tertawa. Gadis itu menghela napas. "Iya-iya, nanti pulang sekolah gue kasih salep."

"Pulang sekolah gimana?" Cantika bertanya sekaligus protes.

"Mending sekarang lo ke UKS. Gue sama Mera ke kelas buat ambil baju seragam sekalian..." Cantika mendekatkan diri kepada Zea. "Sekalian mau beli pembalut." Cantika menunjukkan jaket yang melingkar di pinggangnya.

Zea tertawa ringan. "Yaudah sana."

"Lo gapapa sendiri?" tanya Mera merasa khawatir

Zea menggeleng. "Gapapa. Gih sana, takut waktunya gak keburu. Bawain seragam gue juga ya."

Cantika mengacungkan kedua ibu jarinya sebelum menggandeng Mera dan menyeret gadis maco itu menuju kelas.

Seperginya Cantika dan Mera, Zea menuju Ruang Kesehatan yang kebetulan tidak jauh dari lapangan. Kontak matanya sempat tak sengaja berpapasan dengan Atlas yang baru saja ingin meneguk air mineral namun segera gadis itu alihkan. Zea semakin mempercepat langkahnya menuju UKS tanpa mempedulikan Atlas di belakang yang diam-diam membalikkan tubuh demi melihatnya.

Zea membuka pintu UKS, melongok sejenak untuk melihat keadaan sebelum melangkah masuk ke dalam. Tidak ada siapa-siapa. Padahal biasanya ada yang berjaga, namun saat ini tidak ada.

Gadis yang hari ini mencepol rambut gelombangnya itu, melangkahkan kakinya menuju kotak obat yang menggantung di dinding sudut ruangan. Memutuskan untuk mencari sendiri salep luka bakar yang tempo hari pernah Mera berikan padanya karena tak ada petugas yang berjaga.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang