Terima kasih untuk yang selalu meninggalkan vote dan komen. Mari kita doakan semoga para silent reader terbuka hati dan pikirannya untuk mau juga meninggalkan jejak seperti kalian. Aaminn.
Zea menutup pintu kamar dengan hati-hati. Mengendap-endap berjalan menuruni undakan tangga. Saat ditangga terakhir gadis itu menghembuskan napas lega seolah baru saja selamat dari bahaya.
Pagi ini, Zea seperti maling padahal sedang ada di rumah nya sendiri. Alasannya tentu menghindari sang Mama. Malam tadi beruntung saat Zea pulang mamanya sudah tertidur pulas. Zea tahu karena sempat mengintip kamar mamanya yang pintunya sedikit terbuka.
Dan ini masih pagi sekali. Biasanya Zea belum bangun di jam seperti ini. Ahh benar-benar menyusahkan. Tapi, Zea belum siap bertemu mamanya.
Mau bagaimana lagi?
"Zeze? Tumben udah siap."
Teguran dari belakang membuat Zea menegak, gadis itu tak jadi melangkah. Membalikan tubuh sembari berusaha memasang wajah datar. Berteman dengan orang berekpresi datar seperti Atlas ada untungnya juga ternyata. Zea jadi tau bagaimana mengekspresikannya dengan benar karena selalu melihat ekspresi datar itu setiap hari.
"Aku piket." Zea terpaksa berbohong.
Lilyana berusaha tersenyum mendengar nada dingin anaknya itu, melangkah lebih dekat pada Zea. "Sarapan dulu yuk, masih pagi gini."
"Enggak perlu," balas Zea sembari menggeleng. Tetap memasang wajah datar.
Lilyana sedikit tersentak mendengar penolakan itu. Merasa asing dengan sikap anaknya saat ini. Meski sedikit kecewa, Namun wanita paruh baya itu tak menyerah. Tetap menampilkan senyum keibuannya.
"Kalo gitu bawa bekal aja ya? Jadi uang Zeze bisa buat nanti siang. Ya?"
"Aku berangkat." Zea tak meladeni mamanya, merunduk meraih tangan Lilyana dan menciumnya singkat.
Saat Zea berbalik, Lilyana menahan pergelangan tangannya. Membuat gadis itu menghela napas, sudah ingin menyahut namun ia menelan kembali ucapannya saat mamanya berbicara lembut.
"Ze, Mama buatin bekal ya?"
Zea menggigit bibir, matanya mengembun ingin menangis. Gadis itu memejamkan mata, mencoba menguasai raut wajahnya sebelum berbalik menghadap Mama nya.
"Iya."
Jawaban singkat namun berhasil membuat senyum Lilyana merekah. Wanita yang memakai celemek itu langsung menarik Zea ke arah dapur.
"Zeze tunggu di sini ya. Mama siapin bekalnya. Sambil nunggu mau minum susu?" tanya Lilyana antusias. Menggeser kursi meja makan agar Zea bisa duduk.
Zea diam saja, menurut duduk di sana lalu mengeluarkan ponsel. Memainkan ponselnya tak acuh. Lilyana tersenyum tipis, mengalah saja. Wanita itu segera menyiapkan bekal untuk anak gadisnya.
Lilyana bersyukur Zea masih mau menjawab ucapannya, daripada gadis itu diam seribu bahasa. Semua ibu di dunia ini akan sedih jika anaknya bersikap dingin seperti ini. Lilyana sadar, Lilyana harus memperbaiki hubungannya dengan Zea sebelum terlalu jauh anak gadisnya itu menjaga jarak dengannya.
Lilyana menatap puas tatanan bekalnya. Terakhir Ia menutup kotak bekalnya lalu memasukannya di totebag kecil tempat menyimpan kotak bekal itu bersama dengan botol minum yang sudah di isi penuh. Ia memberikannya pada Zea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...