Iridescent | Bagian 3

5K 462 40
                                    

Atlas melangkah menghampiri seorang gadis yang kini duduk membelakanginya di kursi besi berkarat taman sekolah.

Caramel Oliviana, gadis yang awalnya menunduk sibuk mengusap-usap seragamnya berusaha menghilangkan noda cokelat yang menempel itu menolehkan kepala ketika merasa seseorang mendekat.

Caramel tersenyum. Menggeser tubuhnya mempersilakan laki-laki yang menghampiri duduk di sebelahnya.
Atlas berdeham kecil, duduk sedikit menyampingkan tubuh menghadap Caramel, siswi kelas sepuluh yang kerap ia panggil Melon itu.

"Bersihin pake tisu." Atlas memberikan satu bungkus tisu yang baru saja ia beli untuk gadis itu.
Setelah membawa Caramel pergi begitu saja meninggalkan semua teman-temannya, Atlas kembali ke kantin lagi hanya untuk membeli tisu setelah menyuruh Caramel diam menunggunya di Taman belakang Sekolah.

"Makasih." Caramel tersenyum tipis setelah menerima tisu dari Atlas.

Atlas menghela napas. "Biasanya kamu nggak ke kantin 'kan Mel?" tanya Atlas sembari memperhatikan Caramel yang tengah membersihkan seragamnya.

"Hm?" Caramel menoleh, "Melon gak bawa bekal, soalnya tadi pagi mama buru-buru berangkat dan gak sempet siapin Mel bekal, Aa."

Aa. Singkatan dari nama lengkap Atlas. Atlas Anggara. Itu adalah nama panggilan yang Caramel sematkan untuk Atlas sejak tiga tahun lalu.

Atlas mengangguk, mengiyakan saja tanpa banyak berbicara, masih setia memperhatikan gadis yang sedang duduk bersamanya itu.

Caramel menghentikan kegiatannya, ia menoleh pada Atlas. Gadis itu tersenyum lebar membuat Atlas tanpa sadar membalasnya meski hanya dengan senyuman tipis.
"Sekali lagi makasih ya Aa," ucap Caramel disertai senyuman manisnya.

Atlas mengangguk, berdeham saja sebagai jawaban. Mengusap rambut Caramel dengan lembut.

"Bentar." Atlas mendekatkan diri kepada Caramel.

"Kenapa?"

Atlas tak menjawab, laki-laki itu meraih rambut panjang Caramel yang tergerai lurus ke belakang lalu menyampirkannya ke bahu kanan gadis itu. Menutupi bagian seragam yang basah.

"Keliatan," kata Atlas lalu menatap Caramel kembali. "Gih sana masuk kelas."

Caramel mengerjap tak fokus, mengangguk saja. Masih dengan senyumnya gadis itu beranjak pergi sambil melambaikan tangan kepada Atlas membuat Atlas tersenyum kecil dibuatnya.

Di waktu yang sama, di balik tembok yang tak jauh dari Taman sekolah, seorang gadis melihat semuanya. Menjadi saksi interaksi hangat antara Atlas dan Caramel tanpa keduanya sadari.

Zea menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya lemas pada tembok, termenung sendiri menatap sepatu putih miliknya.

Tak jarang memang Atlas memperlakukannya begitu, namun Zea tetap saja cemburu melihat kehangatan Atlas kepada gadis lain. Pemuda itu tidak akan sembarangan memberikan perhatian kepada orang lain.

Gadis itu mencuatkan bibir, mendongak memandangi koridor yang mulai sepi karena sebentar lagi bel tanda istirahat berakhir akan berbunyi. Ia berdeham, merubah posisi jadi berdiri tegak dan mengintip Atlas kembali. Memastikan apakah pemuda itu masih di sana atau sudah pergi.

Namun decakan pelan keluar dari mulutnya , merasa kecewa ketika cowok itu sudah tak ada disana. Dengan berat hati ia juga beranjak, melangkah menuju kelasnya berada. XII MIPA 1.

Zea berjalan pelan, helaan napas keluar lagi dari bibir tipisnya. Lagi-lagi ia memikirkan Atlas.

Zea sadar diri, selama ini mungkin posisinya hanya sebagai sahabat sekaligus tetangga laki-laki itu dan tidak lebih. Zea tahu betul Atlas tidak mungkin memiliki perasaan lebih kepadanya. Zea benar-benar mengerti bahwa selama ini cintanya bertepuk sebelah tangan.
Zea mendengkus, ketika kenangan lama muncul. Awal kenaikan kelas dua belas waktu lalu saat tahun ajaran baru di mulai. Tiba-tiba Caramel yang menjadi salah satu siswi baru kelas sepuluh itu dengan ceria menyapa Atlas yang sedang duduk bersamanya di pinggir lapangan.
Melihat Caramel yang terlihat polos namun centil itu membuat Zea men-cap-nya gadis pencari perhatian.
Zea tanpa sadar mencibir, siapa sih si centil itu? Entah sejak kapan Atlas mengenal gadis itu saja Zea tidak pernah tahu. Tiba-tiba menyapa seolah sudah kenal lama, ya walaupun itu bisa saja terjadi karena Atlas termasuk cowok populer di sma Pradipta. Banyak adik kelas yang suka cari perhatian pada cowok itu dengan berbagai cara salah satunya adalah menyapa.

Namun yang mengejutkannya adalah ketika Atlas membalas sapaan itu. Ya meski hanya senyum singkat tapi Zea sangat paham kalau Atlas mengenal gadis itu. Kalau cowok itu tidak kenal, Atlas si es batu itu tidak akan merepotkan dirinya sendiri untuk menarik sudut bibirnya barang sedikit pun. Dan sekarang mereka makin dekat saja rasanya.

Tapi kapan mereka pertama kali bertemu? Kenapa Zea tak pernah tahu? Atlas seolah berpikir Zea tidak perlu tahu apapun yang berhubungan dengan dirinya. Kalau Zea menanyakan hal ini pun cowok itu pasti memilih bungkam.

Suara bel membuat Zea mendesah pelan, mempercepat langkah meski masih sambil menunduk. Baru saja ingin berbelok ke koridor yang mengarah ke kelasnya, tiba-tiba tubuhnya bertabrakan keras dengan seseorang hingga membuat gadis itu jatuh terduduk di lantai.

Zea memekik terkejut saat pantatnya membentur lantai dengan kencang. Ngilu rasanya.

Sementara siswa yang menabrak Zea jadi mengerjap setelah terdiam diri menganga melihat gadis di hadapannya jatuh terjerembab akibat dirinya.

Siswa itu hendak berlutut menolong Zea , namun mendengar suara langkah kaki terburu-buru dari arah belakang membuatnya menoleh terkejut dan berlari kabur meninggalkan Zea dengan panik tanpa meminta maaf terlebih dulu.

Zea menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat orang yang menabraknya kini berlari meninggalkan dirinya begitu saja tidak percaya. "HEH MAU KABUR KEMANA LO!" teriaknya pada orang itu namun tak di gubris membuat gadis itu mendengkus sebal.

"Aish, kenapa gue sial banget sih hari ini Ya Tuhan! Sakit hati, di tabrak sampe jatoh lagi." Zea berbicara sendiri dengan tidak jelas. Gadis itu menatap sedih sikunya yang ikut lecet juga.

Gadis itu tak sadar sudah meracau, mengomel entah pada siapa. Sibuk meniupi debu-debu kecil yang menempel pada sikunya yang lecet. Dengan hati-hati berdiri sembari memegangi pinggulnya yang terasa encok.

Baru saja ingin melanjutkan langkah, Zea di kejutkan kembali dengan kedatangan sosok yang gendut berkacamata yang sangat amat ia kenali. Bu Imut berlari dan tak sengaja membuatnya kembali terjatuh.

Sempat berhenti hanya untuk mengucapkan. "Maaf-maaf ibu lagi buru-buru." Setelah itu kembali melanjutkan larinya membuat Zea menjerit frustasi karena merasa sial.

Bersambung...

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang