Zea menatap Atlas yang bangkit dari duduknya. Pemuda itu langsung membereskan alat tulisnya saat bel istirahat berbunyi nyaring lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan kelas.
Zea menghela napas lalu kembali memasukan alat tulisnya ke dalam tas. Sepertinya benar dugaan Zea, pemuda itu marah padanya. Tadi saat pelajaran berlangsung pun Atlas tetap bungkam. Biasanya walau hanya sekedar meminjam tipe-x, Atlas akan bersuara. Tadi tidak sama sekali.
Tapi apa yang membuat Atlas marah? Apa karena ia datang bersama Roland malam itu? Atau karena Atlas menunggu terlalu lama di depan rumahnya?
"Ze!"
Zea mendongak saat Mera menepuk pundaknya. Di belakang Mera ada Cantika yang sibuk mengoles bedak ke wajahnya.
"Kantin yuk," ajak Mera.
Zea diam sesaat setelah itu menggeleng pelan. "Duluan aja."
"Loh? Kenapa Ze? Lo gak laper?" tanya Mera semakin merasa aneh dengan sikap Zea hari ini yang tampak tidak baik-baik saja.
Zea mengeluarkan jaket hitam dari dalam tasnya lalu menunjukannya kepada Mera. "ini, gue mau ngembaliin ini dulu ke Roland."
Mera mengernyit memperhatikan jaket hitam di tangan Zea. "Roland siapa? Kok gue gak tau? Bukannya temen cowok lo cuma Atlas, Daffa, Pea sama Ben ya?" tanya Mera.
Zea menggeleng. "Anak IPS, panjang ceritanya. Mending sekarang lo ke kantin biar gak mati kelaperan," ujar Zea lalu tertawa.
Zea memang tertawa tapi Mera jelas melihat kalau tawa Zea tidak seperti biasanya. Tawa Zea hari ini tidak sampai mata gadis itu.
Mera menghembuskan napas, mengangguk mengerti. "Yaudah, gue duluan kalo gitu. Kalo ada apa-apa bilang ya," ucapnya perhatian membuat Zea tersenyum sebelum mengangguk.
"Ayo." Mera menarik Cantika pelan.
Cantika menutup bedaknya lalu mengantonginya, "Zea gak ikut?" tanya Cantika melihat Zea tetap duduk.
"Makannya nyimak, jangan dandan mulu Cantik!" cetus Mera. "Nanti gue jelasin di kantin." Setelah mengucapkan itu Mera menarik tangan Cantika.
Zea menyimpan tas nya ke meja, hendak bangkit namun urung saat menyadari sesuatu. Dia belum tahu Roland tinggal di kelas mana.
Meraih handphone di dalam sakunya untuk mengirim pesan pada Roland, menanyakan keberadaan pemuda itu saat ini. Tidak butuh waktu lama, Roland sudah membalas pesan darinya membuat Zea segera beranjak dan menuju ke tempat Roland berada.
Zea berhenti melangkah ketika di ujung lorong koridor menuju belakang sekolah, menatap ke kanan dan kiri melihat keadaan sekitar. Merasa aman, gadis itu lalu melanjutkan langkahnya ke arah semak-semak belukar yang bergelantungan. Kemudian masuk ke dalamnya.
Zea bisa melihat seorang pemuda tengah duduk santai membelakanginya di gubuk kayu menikmati angin sejuk yang kini berembus. Ia menggelengkan kepalanya, menghembuskan napas sejenak sebelum mendekat.
"Roland!"
Roland berjengit kaget mendengar panggilan keras itu, mengumpat pelan ingin memprotes. Tapi jadi tersenyum menggoda dengan mata memicing melihat siapa yang datang.
"Cie nyariin. Kangen ya?" Goda Roland yang langsung dilempari jaket hitam oleh Zea, tepat mengenai wajahnya.
"Geer banget, gue cuma mau balikin jaket lo!" Sungut Zea sembari mendaratkan bokongnya di sebelah Roland
Roland terkekeh kecil. "Gak usah dibalikin juga gak papa. Gue bisa beli lagi kok, sepabrik-pabriknya malah." Ucap pemuda itu dengan serius
"Nggak usah banyak gaya deh lo." Zea menoyor kening Roland membuat pemuda itu mendengus. "Ngayal mulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Fiksi RemajaJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...