Iridescent | Bagian 32

4.2K 332 42
                                    

Zea menebak berita meninggalnya Bunda Atlas sudah tersebar luas keseluruh pradipta, apalagi mengingat Atlas termasuk siswa populer di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Zea menebak berita meninggalnya Bunda Atlas sudah tersebar luas keseluruh pradipta, apalagi mengingat Atlas termasuk siswa populer di sana.

Itu langsung terbukti ketika motor kawasaki hitam milik Atlas memasuki gerbang menuju parkiran. Seperti ada lampu tersorot, para murid yang berjalan dari gerbang menuju pintu utama sekolah menolehkan kepala. Zea di jok belakang motor menyimak satu persatu ekspresi wajah para murid yang kebanyakan memandang Atlas iba, seolah memahami betapa sedihnya menjadi pemuda itu saat ini. Beberapa lagi ada yang terkejut dan heran, mungkin karena pemuda itu nampaknya sudah mau sekolah padahal baru beberapa hari ini salah satu orang tuanya meninggal dunia.

Zea turun ketika Atlas sudah mematikan mesin. Ia melepas helm dan memperbaiki rambut kemudian mendongak, tepat ketika pemuda itu melepaskan helmnya lalu merapikan rambut seperti yang ia lakukan beberapa detik yang lalu. Zea melebarkan mata, terpana sesaat. Atlas selalu tampan, walau setiap hari bersama pemuda itu tapi Zea selalu terpesona, tidak pernah bosan.

Namun ia segera menguasai diri saat pemuda berhidung bangir dengan tatapan datar itu menaruh helm di atas motor lalu turun dan berjalan keluar parkiran mendahului Zea. Gadis itu berdecak, 'kebiasaan deh Atlas, suka pergi gitu aja' gerutunya dalam hati sembari berlari kecil mengikuti langkah Atlas.

Dari memasuki lobi utama sampai kini Zea dan Atlas menginjakan kaki di koridor kelas dua belas, keduanya selalu menjadi pusat perhatian, lebih tepatnya tatapan itu mengarah pada Atlas. Murid-murid yang berpapasan dengan mereka langsung menjadikan Atlas sumber objek rasa simpati dan iba, bahkan ada beberapa siswi yang berbisik-bisik secara terang-terangan ketika mereka melewati gerombolan itu.

Zea mendongak, memperhatikan gerak-gerik Atlas dari samping. Tatapan pemuda itu lurus, tetap berjalan dengan gayanya yang tenang seolah tak terjadi apapun padahal Zea tahu, perasaan pemuda itu pasti sedang tak karuan sekarang.

Zea mendengus kecil, merasa sebal pada murid-murid yang terus menjadikan Atlas sebagai bahan tontonan. Gadis itu menghela napas agak kasar lalu menggandeng lengan Atlas membuat pemuda itu menoleh terkejut. Belum sempat Atlas memrotes, Zea sudah menariknya agar berjalan dengan cepat. Baru setelah sampai di depan kelas Atlas menurunkan tangan Zea dari lengannya.

Atlas menaikan satu alisnya melihat Zea terus menggerutu dengan bibir mencebik. "Kenapa?"

Zea melirik Atlas. "Sebel, masa sepanjang koridor ngeliatin lo segitunya. Mana pake bisik-bisik lagi cewek-cewek tadi," cibirnya kesal sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

"Cemburu?"

"Ha?" Zea melongo tak mengerti, namun setelah mengerti ucapan Atlas mata gadis itu melotot. "Ihhh bukaann. Emang lo gak risih diliatin mulu pake tatapan belas kasihan kayak tadi?"

Atlas mengernyit berpikir lalu menggeleng tak peduli. "Biarin aja." Begitu jawabannya padahal sebenarnya Atlas jelas terganggu. Di tatap seperti itu membuatnya merasa seperti orang paling mengenaskan di dunia ini.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang