Iridescent | Bagian 33

3.7K 302 3
                                    

"Senangnya dalam hati~" Rifky datang-datang asik berdendang. Tangan kanan membawa semangkok mie ayam dan tangan kirinya membawa es teh. Menggoda Atlas yang duduk di depannya bersama Zea, ada pula Cantika dan Mera memenuhi bangku sisi kanan dan kiri.

Zea, Mera dan Cantika saling melempar pandang, sama sama memutar bola mata malas. Sementara yang di goda hanya melirik sekilas tak peduli, lebih fokus menikmati nasi gorengnya.

"Asekkk!" Ben menyahuti, sembari duduk di sebelah Rifky setelah meletakkan bakso panas yang ia bawa di meja persegi panjang di sudut kantin siang itu.

" Kalau beristri tiga~" Lanjut Rifky lalu bersiul ke arah Mera membuat gadis itu melotot mengancam.

Ben hendak menyahut namun merasa ada yang salah ia menoleh. "Etts, bukan tiga dong, harusnya dua soalnya yang satu istri gue," katanya memprotes.

Cantika melirik jijik. "Idih, siapa?"

"Tentu saja Mera delima, yakan sayang?" jawab Ben mesem-mesem ke arah Mera.

"Nama gue bukan Mera delima Anj-"

"Hush mulutnya," tegur Daffa menoyor kepala Mera dari belakang. Pemuda yang baru datang dengan menenteng satu kotak pisang goreng dan es kopi hitam itu kemudian duduk di sebelah Mera sehingga menjadi batas antara Rifky dan Mera yang bangkunya bersisian.

"Nah loh kan di tegur papi, lain kali jangan gitu ya sayang," goda Ben makin menjadi membuat Zea kali ini tertawa di selingi tawa Rifky yang terbahak-bahak.

"Najis banget emang ya lo!" Mera menatap Ben sinis.

Cantika merapatkan bibir, menyeruput minuman red velvetnya sampai tandas. Entah kenapa mendadak tenggorokannya kering melihat interaksi di depannya.

"Lo beneran kayak bapak-bapak lagi nongkrong ya Daf. Belinya pisang goreng sama kopi." Cantika mengganti topik pembicaraan.

"Mana ada bapak-bapak pesennya es kopi." Elak Daffa memberenggut.

"Halah, kalo diluar pasti lo pesennya juga kopi item yang panas. Cuma lagi di sekolah aja makanya jaga image." Serobot Rifky membuat Daffa mengumpat kecil

Mera mendecih mendengar umpatan pelan itu. "Siapa tadi yang negur gue gara-gara ngumpat?" sindirnya keras-keras.

Daffa hanya merapatkan bibir kicep mendapat lirikan tajam dari Mera, belum lagi tangan gadis itu memegang erat garpu seolah sedang bersiap ingin menusuk matanya.

"Eh pulang sekolah main yuk!" seru Rifky tiba-tiba dengan semangat membuat yang lain menoleh. "Sumpek euy di rumah. Akhir-akhir ini kerjaan gue cuma jagain warung sama nganterin Rahel ke tempat les tiap sore, atuh bosen lama-lama." Curhatnya kemudian.

"Belajar woy, main mulu otak lo." Sahut Ben sok sok an, padahal sebenarnya mau mau aja.

"Lo kira gue tiap hari sekolah ngapain? Judi?" balas Rifky tak santai membuat Ben tertawa. "Ayuk atuh main." Pemuda itu kini kembali memandangi teman-temannya, merengek.

"Ayo ayo aja gue mah, lo juga Daf?" Ben mengangguk-angguk lalu bertanya pada Daffa.

"Yoi," sahut Daffa santai.

Rifky lalu memandangi Mera dan Cantika memelas, membuat kedua gadis itu menghela napas kompak. "Yaudah ngikut aja," kata Mera sebagai perwakilan.

"Gue gak ikut."

Ucapan Atlas membuat pusat perhatian di meja itu mengarah pada dirinya, Ekspresi Rifky yang segar bugar kembali mengeruh.

Zea diam-diam memperhatikan ekspresi Atlas yang terus menunduk, menghabiskan makanannya tanpa mengindahkan tatapan bertanya para temannya. Sepertinya gadis itu mengerti, perasaan Atlas masih tidak karuan setelah kepergian bundanya. Masih merasa tak tega hanya untuk bersenang-senang. Tapi melihat Rifky, Zea juga merasa kasihan. Pemuda itu sepertinya benar-benar merasa suntuk dan ingin bermain. Kalau pun mereka memutuskan untuk main, mana mungkin meninggalkan Atlas 'kan? Gadis itu berpikir, detik berikutnya wajahnya merekah setelah menemukan ide bagus.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang