Terima kasih untuk yang selalu meninggalkan vote dan komen. Mari kita doakan semoga para silent reader terbuka hati dan pikirannya untuk mau juga meninggalkan jejak seperti kalian. Amin.
Tidak tahu bagaimana lagi Atlas harus mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan, Beban berat yang ia pikul seolah menguap seperti asap yang di tiup angin. Bahu yang bahkan tak bisa menopang pakaian dengan benar kini menegak sempurna melihat betapa indahnya netra yang akhirnya terbuka setelah berhari-hari terpejam tak nampak cahayanya.Keajaiban itu benar-benar datang, Bundanya sudah sadar dari masa kritisnya. Atlas masih tidak percaya tapi ia merasa bahagia. Bukan bahagia lagi tapi sangat bahagia! Sebagai pembuktian rasa bahagianya, di sinilah ia sekarang, Ruang ICU dimana Farah-bunda Atlas berada.
Mau sekeras apapun usaha dokter Haru membujuk agar Atlas mau keluar dan membiarkan sang bunda beristirahat, tetap saja akan kalah dengan keras kepalanya pemuda itu yang tetap keukeuh ingin bersama bundanya. Sampai dokter Haru maupun tim medis lainnya sudah kehabisan akal, dan berakhir membiarkan pemuda itu bersama mereka di ruangan ini walau yang dilakukan Atlas hanya duduk di samping brankar memandangi sang bunda sambil menopang dagu dari setengah jam yang lalu.
"Bunda bisa salting loh kalo di liatin terus kayak gitu."
Teguran yang lebih seperti gumaman serak parau itu menyadarkan Atlas. Ekspresinya menjadi khawatir ketika mendengar rintihan pelan di ujung suara dari balik ventilator itu.
"Bunda gak boleh ngomong dulu. Ssstt..." Atlas ganti menasehati sang bunda membuat Farah tak bisa menahan untuk tidak terkikik geli.
"Bunda..."
Bibir pucat Farah tertarik tipis. "Nggak nyangka ya, anak bunda udah besar."
Meski lemas, Farah mencoba meraih tangan Atlas. Mengerti apa yang di inginkan sang Bunda, Atlas menegak, tak lagi menopang dagu. Pemuda itu menggapai tangan bundanya terlebih dulu dan meletakannya di atas perut bunda supaya bunda lebih leluasa menggenggam tangannya.
"Aa tau nggak? Dulu tangan Aa tuh mungil banget, cuma bisa genggam jempol bunda. Lihat sekarang, udah bisa genggam dua tangan Bunda aja." Walau terbata-bata dan nampak kesulitan, Farah tetap bicara panjang lebar. Kedua jempolnya mengusap-usap punggung tangan Atlas yang menggenggam hampir seluruh tangannya.
Atlas tersenyum, tetap berusaha mendengarkan meski dengan keadaan khawatir.
Farah lalu mengangkat salah satu tangannya dengan gemetaran, Atlas segera mendekatkan wajah agar bundanya tak perlu bersusah payah. Rasa tentram langsung menghanyutkan tubuh Atlas saat tangan bunda menyentuh kulit pipinya dan membuat usapan lembut disana.
"Maafin Bunda ya Atlas," ucap Farah tulus, air mata menetes dari sudut mata sayu itu. "Maafin bunda... bunda belum bisa jadi bunda yang terbaik buat Atlas."
Atlas mengeratkan genggaman di salah satu tangan yang belum terlepas sejak tadi, tertohok mendengar permintaan maaf itu. Justru Atlas yang seharusnya meminta maaf karena tak cepat menyadari bahwa selama ini bundanya berjuang sendirian.
"Atlas pasti kerepotan ya ngurus bunda? Pasti capek banget ya? Harusnya 'kan Aa fokus sekolah. Gara-gara bunda waktu Aa jadi terbagi."
Atlas menggelengkan kepalanya, seratus persen tak menyetujui dugaan Bundanya. "Enggak. Bunda sama sekali gak ngerepotin. Ini kemauan Atlas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...