Terima kasih untuk yang selalu meninggalkan vote dan komen. Mari kita doakan semoga para silent reader terbuka hati dan pikirannya untuk mau juga meninggalkan jejak seperti kalian. Amin.
Atlas berdecak keras, mengusap wajahnya kasar. Mengingat hal itu benar-benar membuatnya merasa tak berguna sama sekali.
Selama ini Atlas tidak pernah tahu apa yang di derita oleh Bundanya sendiri. Seapik itu Bundanya menyembunyikan penyakit yang diidapnya, atau memang Atlas yang tidak peka? Apalagi Bunda selalu memakai hijab membuat Atlas tidak tahu jika rambut Bundanya telah merontok karena kemoterapi.
Atlas tersenyum miris, merasa miris pada dirinya sendiri. Kenapa Bundanya harus memilih untuk menyembunyikannya? Satu-satunya orang yang ia percayai di dunia ini bahkan tidak percaya padanya.
Apa memang Atlas selemah itu? Apa Atlas memang sama sekali tidak bisa di andalkan?
Mungkin benar bahwa sebenarnya tidak ada yang mempercayainya di dunia ini? Tapi daripada itu, di sisi lain Atlas merasa dirinya adalah orang paling bodoh dan tidak peka.
Atlas memejamkan mata, baru menempelkan batang rokoknya di bibir, seseorang menepuk pundaknya membuat ia mengurungkan niat, menurunkan kembali batang rokoknya.
Atlas menoleh sejenak ke belakang, mendengkus kecil melihat Daffa datang membawa kantong kresek berlogo Indomaret dan duduk di sebelahnya.
"Nih, ambil." Daffa memberikan tiga permen milkita beda rasa dan sebotol air mineral dingin.
Atlas membuang puntung rokoknya yang terbilang masih utuh karena baru beberapa kali ia sesap. Menginjaknya agar api rokok itu mati sehingga menimbulkan asap kecil.
"Thanks," ucap Atlas kemudian menerima permen dan air mineral yang Daffa berikan.
"Jangan ngerokok mulu, mending beli permen di Indomaret tuh di depan. Mau sejauh apapun jarak taman sama rumah sakit nya tetep aja ini kawasan Rumah Sakit. Gak boleh ngerokok," tegur Daffa geleng-geleng kecil. Tahu Atlas baru saja merokok.
Atlas hanya bergumam lalu memilih meminum air mineralnya dengan tenang.
"Pea sama Ben dah cabut duluan," ujar Daffa memberi info. meneguk minuman kaleng bergambar badak dengan logo cap kaki tiga rasa leci di tangannya.
Atlas diam saja, kembali melamun jauh membuat Daffa mengerti lalu menepuk bahu Atlas seolah menyalurkan kekuatan untuk pemuda itu.
"Gue emang bodoh," gumam Atlas pelan meskipun begitu Daffa tetap bisa mendengarnya.
"Gue nggak peka sama keadaan," kata Atlas lagi lebih keras.
Daffa hanya diam mendengarkan, karena kadang seseorang hanya butuh keluh kesahnya didengar dengan baik. Melihat Atlas, Daffa jadi mengerti satu hal. Tidak selamanya orang diam itu tidak punya keluh kesah, justru mereka mungkin memilikinya lebih banyak namun dipendam sendiri.
Atlas menunduk, mengacak rambutnya frustasi. Matanya memerah menahan tangis. Kalau bisa menangis ia akan menangis, tapi menangis justru membuatnya terlihat semakin lemah. Di saat-saat seperti ini ia harus menunjukan pada Bundanya, pada orang itu bahwa ia kuat dan tidak selemah yang mereka kira.
"Selama ini gue ke mana Daf?" Atlas mungkin bertanya pada Daffa, tapi matanya kosong. Pikirannya terus berperang menyalahkan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...