Iridescent | Bagian 11

4.1K 392 15
                                    


Zea membanting pintu keras, berlari keluar rumah sambil menangis. Yang kemudian hujan turun dengan deras setelah beberapa kali guntur terdengar. Hujan malam ini seakan mewakili perasaannya. Zea tak peduli kaosnya yang tipis basah kuyup, gadis itu tak berhenti berlari.

"Saya juga mencintai mas Bima."

Sial, ucapan mamanya selalu terngiang-ngiang di telinganya. Zea benci, sangat benci mendengar suara lembut mamanya saat menyatakan cinta untuk pria lain. Bagaimana bisa begitu mudah mamanya mengatakan hal manis seperti itu untuk pria lain dan melupakan papanya, suami dia sendiri. Sampai kapan pun Zea tak akan merestui hubungan menyebalkan itu.

Zea berhenti berlari, membungkuk memangku kedua tangan pada lutut. Menetralisir detak jantungnya dan menormalkan napasnya yang memburu. Zea tak tahu sejauh apa ia berlari. Tapi yang pasti saat ini dia tidak tahu dimana dirinya berada. Seperti taman komplek tapi jelas ini bukan blok perumahannya. Ini di blok tetangga.

Begitu sepi, keadaannya yang hujan deras membuat taman ini tak di jangkau siapapun. Hanya ada beberapa orang berlarian ke warung tenda yang menjajakan makanan untuk berteduh.

Dengan langkah gemetar, Zea menyeret kakinya menuju bangku taman yang terletak di bawah pohon rindang tak jauh darinya. Gadis itu terduduk lemas. Melamun memikirkan kejadian tadi.

Zea terisak, bibirnya mulai membiru tanda gadis itu mulai kedinginan. Tubuhnya juga terasa menggigil. Tapi Zea tetap tak peduli, pikirannya sedang kacau.

Malam ini ia ingin menghibur mamanya yang lesu. Dengan mengajak mamanya hanya sekedar mengobrol sembari menikmati segelas teh hangat yang telah ia siapkan sebelumya. Supaya mama nya tak lesu lagi karena terlalu keras bekerja. Ia hanya ingin menyenangkan hati mamanya.

Tapi baru saja ingin mengetuk pintu kamar, Zea malah harus mendengar perbincangan hangat yang menyakitkan. Mendengar percakapan mama nya dengan pria antah berantah itu membuat mood Zea hilang seketika. Yang ada pada dirinya saat itu adalah amarah dan kekecewaan.

Zea benar-benar kecewa. Di saat-saat seperti ini, Zea selalu merasa bersalah pada almarhum papanya. Seakan papanya di lupakan hanya karena raga beliau sudah tak ada bersama mereka lagi. Zea tidak terima Papanya di perlakukan tidak adil begini.

"Maafin Zea Pa..." gumam Zea pelan. Matanya kosong memandang rerumputan yang basah dan terlihat indah karena sorot lampu taman.

Masih larut dalam lamunan, mata Zea bergerak saat melihat sepasang sepatu berhenti di hadapannya tiba-tiba. Gadis itu mendongak, melebarkan mata menatap seorang laki-laki sedang merentangkan jaket hitam di atas kepalanya.

Melindunginya dari hujan malam ini.

***

Atlas meraih hoodie di dalam lemari lalu dengan cepat berlari keluar kamar menuruni undakan tangga dengan terburu-buru. Setelah mendapatkan telepon dari mama Zea, mengatakan bahwa Zea lari dari rumah membuatnya terburu-buru seperti sekarang. Yang ada di Pikirannya kini adalah gadis itu.

"Aa," Atlas menoleh saat dirinya di panggil. "mau ke mana?" tanya Bundanya yang tengah menonton televisi di ruang tamu. Bingung anaknya berjalan terburu-buru.

"Keluar sebentar, Bun." jawabnya tanpa menghentikan langkah.

"Di luar hujan," beritahu Bunda membuat Atlas menghentikan langkahnya lalu berjalan menuju tempat payung di sudut ruangan. Membawa dua payung.

"Aku bawa payung. Atlas keluar bentar ya, Bun." pamitnya lalu dengan cepat keluar rumah tanpa menunggu balasan dari Farah.

Atlas menelpon Zea beberapa kali namun tak mendapati balasan apapun dari gadis itu membuat Atlas memutuskan untuk pergi menuju taman komplek.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang