Iridescent | Bagian 24

4.2K 389 59
                                    

Zea mengusap sisa air mata di sudut matanya. Beranjak mengintip ruang tamu yang sudah di penuhi oleh tetangga yang melayat juga tamu-tamu Papa Atlas atau rekan kerja Bunda Atlas yang turut berbela sungkawa.

Sedangkan ia tadi langsung di tarik ke dapur oleh mamanya untuk membantu menyiapkan keperluan yang di butuhkan untuk tahlilan nanti malam.

Dari pintu dapur, ia bisa melihat jelas sosok Atlas yang masih duduk bergeming membaca surat Yasin di antara Caramel dan wanita berparas cantik dengan kerudung hitam menggantung di kepala wanita itu. Setahu Zea itulah sosok ibu tiri Atlas. Sedangkan Papa Atlas duduk di sebelah mama tirinya yang ikut membaca bersama tetangga lain.

Meski tak ada air mata yang keluar, namun Zea mengerti bahwa Atlas sedang merasakan kesedihan yang amat luar biasa. Mata pemuda itu tak bisa berbohong.

Selama ini pemuda yang jarang berekspresi itu memiliki beban berat dalam hidupnya. Mulai dari orang tuanya yang pisah ranjang sejak lama, karena Papanya menikah lagi. Atlas tinggal bersama dengan Bundanya, hanya berdua. Dan kini, pemuda itu harus kehilangan orang yang paling dekat dengannya, orang yang selalu menemaninya. Orang yang berperan dua arah sekaligus untuknya.

Sekarang, Atlas sendirian.

Air mata Zea mengalir lagi, merasa menyesal dan bersalah. Di saat ia selalu mengeluh Atlas tak pernah peka terhadap perasaannya, Zea lebih-lebih tidak peka dengan kehidupan dan perasaan Atlas. Zea tidak pernah mencoba merasakan apa yang sedang di rasakan oleh Atlas.

Zea egois. Zea mementingkan dirinya sendiri. Zea tidak tahu apa-apa dan hanya bisa menyalahkan Atlas tentang hari yang lalu, bahkan sampai hari ini. Zea menyesal, sangat menyesal.

Apalagi, Bahkan di saat-saat seperti ini yang berada di sebelah Atlas adalah Caramel.

Lalu dirinya?

Memang pantas jika Atlas tidak pernah menganggapnya sebagai sahabat. Zea memang tidak pantas di sebut sahabat. Sahabat macam apa yang tidak tahu masalah yang di alami sahabatnya sendiri. Zea tidak tahu sejak kapan semuanya jadi begini.Tante Farah tiba-tiba pergi begitu saja, padahal terakhir kali Zea bertemu dengan wanita itu, wajahnya berseri-seri walau masih nampak sedikit pucat. Zea tidak tahu apa-apa selama ini.

Zea diam, merasa tertohok sendiri memikirkan itu. Bibirnya bergetar, bergumam tanpa sadar.

"Maafin gue, Atlas."

Gadis itu membalikan tubuh, berlari ke dalam kamar mandi membuat beberapa orang yang ada di dapur termasuk Lilyana memandangnya bingung.

Saat di dalam kamar mandi tubuh Zea langsung terduduk di lantai, melipat kedua lutut dan menyembunyikan wajah di sana. Menumpahkan tangisnya kembali.

Kedua bahu Zea bergetar, menahan diri untuk tidak menangis histeris yang makin membuat tubuhnya gemetar dengan isak.

Hatinya benar-benar patah melihat Atlas, pemuda yang ia cintai, sahabatnya sendiri menghadapi hari menyakitkan. Zea juga makin merasa bersalah karena selama ini belagak tak peduli. Rasanya, Zea terlalu malu untuk sekedar mendekat dan memeluk pemuda itu sekarang.

"Maafin gue..."

Beberapa menit berlalu dan Zea masih terduduk di lantai kamar mandi. Ketukan dan panggilan dari luar datang membuat gadis itu tersentak.

Zea menarik isaknya, mengusap pipinya yang basah dan mencoba menguasai diri mengangkat wajah. Zea berusaha berdiri walau tubuhnya masih gemetar. Gadis itu menelan ludah, melangkah ke wastafel mencuci wajahnya di sana.

Zea mengangkat wajah, menghela napas berat melihat bayangan dirinya dalam cermin di hadapannya. Matanya nampak sembab dan bengkak akibat menangis terus menerus, hidungnya juga merah tak karuan. Kacau sekali.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang