Atlas duduk di atas motornya, menunggu Zea yang sedang piket dikelas dengan sabar. Hari ini ia mengajak Zea untuk pulang bersama dan berbicara empat mata dengan gadis itu, menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka berdua.
Atlas sadar yang ia lakukan salah, seharusnya pemuda itu mengatakan yang sejujurnya. Ia juga ingin meminta maaf atas ucapan kasarnya di belakang gedung sekolah kemarin.
Sebenarnya Atlas tidak pernah berniat untuk mengatakan hal kurang ajar seperti itu, tapi emosinya yang sedang labil tak bisa dikendalikan hingga tidak sadar melukai gadis itu. Bukan hanya tangannya, tapi pasti juga hatinya. Atlas merasa bersalah, karena bagaimanapun yang dikatakan Daffa itu benar, Zea lah orang yang selama ini selalu berjalan di sisinya.
Atlas mengerjap, tersadar dari lamunan ketika merasakan getaran ponsel di saku seragamnya. Pemuda itu merunduk mengambil benda pipih itu, menelan ludah melihat nama penelepon yang terpampang jelas di layar berbentuk persegi panjang itu.
Dengan perasaan yang campur aduk pemuda itu mengangkat panggilan dari dokter Haru.
"Halo, Dok?"
"Ini soal Dokter Farah, kamu bisa ke rumah sakit sekarang Atlas?" Suara berat dokter Haru terdengar dari seberang sana.
Tubuh Atlas menegak, jantungnya berdetak mendengar nama Bundanya di sebut. "Bunda kenapa, Dok?" tanyanya panik.
Diamnya Dokter Haru membuat Atlas tak bisa berpikir jernih. Tanpa menunggu dokter paru-paru itu melanjutkan ucapannya, Atlas memutuskan sambungan telepon terlebih dulu. Ia segera memakai helm dan menghidupkan mesin motor. Tanpa pikir panjang menancap gas dan meninggalkan sekolah bahkan melupakan janjinya dengan Zea.
Kawasaki ninja 250 warna hitam milik Atlas melesat cepat menembus jalanan. Meliuk-liuk, menyalip kendaraan yang menghalangi jalannya. Mengabaikan rasa sakit pada telapak kakinya. Pemuda dengan helm fullface hitam itu tak henti-hentinya membunyikan klakson tidak sabaran pada kendaraan yang berjalan lambat membuat beberapa pengendara memprotes kelakuannya. Namun Atlas tak peduli, yang ada di otaknya kini hanyalah sang Bunda.
Tak berapa lama, Atlas sudah memasuki kawasan rumah sakit. Setelah memarkirkan motor sembarangan dan melepas helmnya, pemuda itu segera berlari memasuki rumah sakit. Matanya melebar melihat dokter Haru sudah menyambutnya didepan ruangan sang Bunda, meski sedikit terkejut melihat Pria dengan jas hitam tengah merunduk pasrah bersama Caramel di sebelah pria itu memandanginya dengan nanar.
Kenapa? Ada apa sebenarnya?
Atlas menatap dokter Haru. "Dok? Bunda mana? Ada apa?" tanyanya langsung menyerobot panik.
"Tenang dulu Atlas, mari bicara baik-baik." Dokter Haru menepuk bahu Atlas.
Atlas menepis tangan dokter Haru, tak peduli dengan ucapan sang Dokter. Mana bisa ia tenang kalau itu soal Bundanya. Pemuda itu hendak masuk ke dalam ruangan namun Dokter Haru menahannya.
"Dengarkan saya dulu."
"Maafkan saya Atlas," kata Dokter Haru tak mampu mengucapkan sepatah katapun. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain..." Menghela napas. "Dokter Farah telah meninggal dunia tepat pada pukul 13.30 WIB."
Seperti di sambar petir tubuh Atlas kaku, otaknya kosong, ingin menggerakkan lidah saja tak mampu apalagi berbicara, tenggorokannya seolah tertutup rapat-rapat. Jantungnya mencelos begitu saja, masih tak bisa mencerna apa yang baru saja ia dengar.
Atlas menggelengkan kepala tak percaya, meski matanya sudah memerah dengan tubuh mulai bergetar tak karuan. "Bohong! Gak mungkin!"
Dokter Haru menghembuskan napas berat. "Saya berharap ini memang tidak mungkin terjadi. Tapi, inilah kenyataannya. Sekali lagi maafkan saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...