Amera Kineta, gadis cantik berwajah tegas yang hari ini mengepang rambutnya tinggi tanpa poni itu menghela napas, menatap pemuda yang tengah mendongak mengamati rumah berlantai dua di depan mereka dengan parsel berisi buah-buahan di tangan cowok itu.
Gadis itu melengos kecil lalu menyenggol lengan cowok itu sedikit keras. "Heh Pea! Lo ngapain anjir? Buruan teken belnya."
"Aelah sabar dong Mera-mera delima sayang," balas Rifky. "By the way ngapa nyuruh gue? Lo aja, cuma teken, kan?" tanya Rifky. "Gue 'kan pegang parcel." Rifky mengangkat sedikit tinggi parcel yang tengah ia pegang.
Mera memutar bola mata malas. "Banyak bacot lo, kalau mau juga dari tadi udah sama gue teken."
"Ya ampun, tinggal pencet doang apa susahnya sih, Mer." Rifky menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
"Berantem terusss, perkara bel aja harus berantem dulu," celetuk Daffa yang baru saja datang bersama Cantika dan Ben dibelakangnya.
"Biasalah ini Neneng Mera bikin gue ribet aja, udah mah numpang, disuruh bawa parcel terus sekarang mencet bel aja dia ogah," ucap Rifky sembari memanjangkan tangannya untuk menekan bel yang berada disebelah pintu.
"Gak usah banyak omong bisa gak? Pencet bel aja ngeluh sana-sini." Mera mendelik lalu melipat kedua tangannya didepan dada.
"Fiks sih si Mera lagi datang bulan, sensi amat anjir, ngeri gue." Ben menatap Mera takut-takut.
Ben berlindung dibelakang tubuh Cantika yang lebih pendek darinya. Gadis itu sibuk membersihkan mukanya dengan blotting paper.
"Ampun nyai." Ben menyatukan tangannya didepan dada saat Mera mengangkat kepalan tangannya.
Mera tidak memperpanjang, gadis itu kembali diam dengan tangan yang berada di masing-masing sisi tubuh. Hari ini ia benar-benar sensitif, mungkin karena perutnya terasa nyeri. Meski sangat menyiksa Mera tidak akan seperti kebanyakan gadis diluar sana yang banyak merengek, ia justru hanya akan menyebalkan saja. Menyebalkan lebih dari biasanya.
Tidak lama setelah itu pintu rumah terbuka. Menampilkan sosok Zea yang masih memakai seragam. Padahal yang lainnya sudah berganti pakaian.
Mengetahui jika ibu dari salah satu temannya sakit, mereka berinisiatif untuk menjenguk. Tentunya tanpa meminta izin kepada Atlas. Pemuda itu pasti akan menolak mentah-mentah niat baik teman-temannya. Zea mengiyakan saja karena tidak ada salahnya.
"Lama banget sih, katanya mau nyusul cepet-cepet?" tanya Zea. "Pada ngapain dulu?" Pasalnya mereka sudah terlambat dua jam dari waktu yang telah ditentukan.
"Biasalah, Ze." Mera berujar malas sembari melirik pemuda dengan garis wajah soft bak pangeran yang kini memberikan cengirannya.
"Mana panas lagi, untungnya gue selalu bawa blotting paper buat lap sebum," sahut Cantika yang hari ini memakai bando berwarna putih dengan rambut tergerai lurus.
"Itu muka apa gorengan sih Can, bisa-bisanya berminyak," celetuk Ben asal ceplos.
"Sebum sama minyak tuh beda ya Ben!" ucap Cantika kesal setelah memukul lengan atas Ben cukup keras membuat cowok itu meringis cukup kesakitan.
Daffa menghela napas merasa harus angkat bicara karena merasa dipojokkan. "Ya sorry, lagian siapa juga yang mau nunggu? Kalian juga, kan?" tanya Daffa. "Padahal gue udah suruh kalian buat duluan aja."
"Eh, nuhun-nuhun atuh maneh teh." Rifky berkata menggunakan bahasa Sunda membuat teman-temannya mengernyitkan dahi tidak mengerti.
"Apaan anjir gue gak ngerti bahasa planet?" tanya Daffa mewakili kebingungan yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...