Daffa mencoba menghidupkan mesin motornya. Pemuda itu menggeram pelan, mengacak rambutnya frustasi. Sudah kesekian kalinya ia mencoba menyalakan mesin motornya, tetap saja si uci-- motor antik yang sudah layak pensiun seperti kata teman-temannya itu tak mau menyala.
Padahal, kalau di pikir-pikir Daffa selalu merawat motornya dengan baik. Bensin tidak pernah telat, ke bengkel dua minggu sekali saat weekend, selalu bersih karena Daffa rajin mencucinya sendiri. Tapi akhir-akhir ini entah kenapa selalu saja mogok.
Apa emang udah saatnya ya, Daffa ganti motor? Kadang kalau melihat Atlas, Ben atau Rifky yang setiap ke Sekolah motornya keren-keren, Daffa mau juga. Pemuda itu juga kadang jadi minder sendiri kalau bareng mereka.
Pernah sih terbesit mau beli motor, karena duitnya pas-pasan Daffa berniat menjual uci ke toko barang antik. tapi kalau melihat si Uci di pajang depan toko, ia jadi teringat almarhum kakeknya dan jadi merasa tak enak dengan beliau karena itu motor peninggalan darinya untuk Daffa, satu-satunya cucu laki-laki di keluarga mereka. Dan ya, akhirnya Daffa tetap setia dengan si uci.
Daffa berdeham, menoleh ke arah Zea yang sedari tadi sudah cemberut karena menunggunya terlalu lama."Sorry Ze," ucap pemuda itu menggaruk rambutnya yang tak gatal.
Zea berdecak dengan kedua tangan yang terlipat didepan dada, "Kan udah gue bilang, uci tuh udah masanya pensiun!" Zea mendelik kesal. "Terus sekarang gimana?"
Zea tidak kesal dengan Daffa melainkan kesal kepada Caramel yang tiba-tiba meminta Atlas untuk mengantarnya pulang dengan alasan jika papanya tidak bisa menjemput, namun karena segan untuk bersikap kasar kepada Caramel sebab Atlas terlihat tidak keberatan dengan permintaan adik kelasnya itu membuat Zea mengalah dan berakhir pulang bersama Daffa.
"Ya kayak biasanya, dorong dulu hehe," kata Daffa nyengir kuda. "Tapi gue coba sekali lagi deh siapa tahu bisa."
Sudah Zea duga, pasti ujung-ujungnya seperti ini. Zea menghentakkan kakinya sebal, mengumpati orang-orang yang membuatnya kesal dalam hati.
Jika saja Benardi tidak bersama Cantika dan jika saja Rifky tidak harus menjemput Rahel- adiknya dari tempat Bimbel sudah dipastikan Zea akan memilih salah satu di antara mereka untuk mengantarnya pulang. Sedangkan yang lainnya sudah lebih dulu pulang.
"Belum nyala juga?" tanya Atlas yang baru saja kembali bersama Caramel setelah sebelumnya membeli minuman.
"Belum," jawab Daffa.
Atlas memberikan botol minumnya kepada Caramel lalu menghampiri motornya yang tepat berada disebelah Daffa. Memperhatikan Daffa setelah sebelumnya mengambil helm yang ia simpan di motor.
"Yaudah deh!" Zea mengambil posisi tepat dibelakang motor Daffa. "Dorong dulu aja."
"Jangan ngambek dong Ze." Daffa menatap Zea dengan tidak enak hati namun balasan gadis itu hanya mencibirnya.
Melihat Zea kesal. Atlas menghembuskan napas, memberikan helmnya kepada Zea membuat gadis itu dengan sigap menerima. Sementara Atlas berjongkok, mengecek mesin motor Daffa.
Pemuda itu tampak mengamati motor Daffa lama. Zea yang jengah menunggu, berdecak membuat Atlas dan Daffa mendongak menatapnya.
"Aa." Caramel menipiskan bibirnya saat ketiga kakak kelasnya itu menoleh bersamaan menatapnya.
Atlas berdiri dan menegakkan tubuhnya. "Kenapa?"
"Masih lama ya?" tanya gadis itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...