Zea menghembuskan napas panjang. Membuka pintu gerbang rumahnya. Langit mulai menggelap dan ia baru saja tiba di rumah. Seharusnya ia telah tiba di rumah empat jam yang lalu, namun kedua temannya memaksa untuk bermain lebih dulu sebelum pulang setelah ketiganya keluar dari Unit Kesehatan Sekolah.
Membuka pintu rumah dan mendapati mamanya yang tengah duduk di sofa dengan televisi yang menayangkan entah acara apa, namun mamanya sesekali tertawa. Menyadari kehadiran sang anak yang baru saja pulang, Lilyana mengecilkan volume televisi lalu berdiri dan menghampiri Zea.
"Baru pulang?"
Zea menyimpan sepatunya di rak biasa lalu melangkah menuju tangga. Hanya berdeham tanpa menatap mamanya.
"Darimana? Kenapa telepon mama gak kamu angkat?" tanya Lilyana lembut sembari mengikuti langkah anaknya.
"Aku fokus kerjain tugas," jawab Zea tanpa menghentikan langkahnya.
Lilyana menghela napas mendengar nada dingin itu, Zea benar-benar marah kepadanya.
"Mama minta maaf, Zea."
Zea menghentikan langkahnya mendengar itu.
"Maafin Mama, Mama tahu Mama salah, tapi... Om Bima orang baik, Mama nggak mungkin mengakhiri ini gitu aja Zea. Kamu ngerti kan?"
Tanpa membalikkan tubuhnya, Zea membalas perkataan mamanya. "Bisa mama gak usah bahas itu dulu? Zea capek."
"Mama tahu Zea marah sama Mama--"
"Ma!"
Tanpa sadar nada bicara Zea meninggi. Zea membalikkan tubuh untuk menatap mamanya yang berada di tangga yang lebih rendah darinya. Sebenarnya ia tidak ingin membahas ini disaat dirinya tengah disuasana tidak baik karena ia pasti akan sulit mengontrol ucapannya. Tapi mamanya malah memaksa ia kali ini untuk berbicara.
"Nggak Ma, sampai kapanpun Zea nggak akan ngerti!" ucap Zea untuk menjawab pertanyaan Lilyana sebelumnya. "Bahkan sampai detik ini Zea juga nggak ngerti kenapa Mama milih ngekhianatin papa!" Bentak Zea kemudian dengan suara bergetar. Tidak biasanya ia berani membentak wanita yang telah membesarkannya, namun begitu kini egonya lah yang memimpin.
Hatinya terusik saat menatap tatapan terluka mamanya. Mungkin tidak menyangka dibentak oleh dirinya.
Lilyana bergerak cepat saat Zea membalikkan badan dan hendak pergi. "Zea." Lilyana menggapai tangan Zea, namun terkejut saat anak gadisnya itu meringis seperti menahan perih, bahkan ia sempat melihat luka bakar ditangan Zea.
"Zea, tangan kamu kenapa?"
Zea cepat-cepat menjauhkan tangannya dari jangkauan sang mama membuat Lilyana menatapnya bingung sekaligus khawatir.
"Oh iya, apapun usaha mama, sampai kapanpun nggak akan ada yang bisa gantiin posisi papa di keluarga ini."
Zea berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah merestui hubungan itu.
Sampai kapanpun.
***
Atlas duduk bersandar dengan rokok terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya. Rambut yang tidak tertata rapi, wajah lusuh dan kantung mata yang menghitam jelas menandakan bahwa cowok itu lelah dan kacau.
Ia menghela napas, menyesap kembali nikotin dari rokok di tangannya. Ketika banyak beban pikiran seperti ini, merokok adalah jalan satu-satunya yang bisa ia ambil untuk menenangkan diri.
Atlas memang dingin dan terkesan introvert, juga bagi siswa-siswi PRADIPTA mungkin akan mengejutkan melihat ketua Klub Olimpiade seperti itu merokok. Tapi dia tetap lelaki remaja yang juga belum menemukan jati diri. Anak SMA biasa yang bisa saja melampiaskan rasa frustasinya pada sesuatu yang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Ficção AdolescenteJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...