Zea menghembuskan napas kesal. Gadis itu melangkah dengan kepala yang tertunduk. Sesekali kakinya menendang kerikil yang ada di trotoar. Biasanya Atlas tidak akan pernah membiarkannya pulang sendiri, tapi jika Caramel yang datang dan meminta agar Atlas mengantarnya pulang, pemuda itu dengan tidak ragu menyuruhnya pulang sendiri.
Zea mendongak menatap langit kini terlihat masih panas terik meski hari mulai sore. Entah kenapa Zea selalu merasa kalau semesta memang tidak merestui hubungannya dengan Atlas. Baru saja Zea merasa bahagia bisa berdua bersama pemuda itu, lalu tiba-tiba semuanya lenyap.
Dan itu semua karena Caramel, selalu gadis itu. Zea bukan tipe orang yang akan benci dan menjadi jahat seperti di sinetron-sinetron tanah air kalau orang yang ia cintai direbut begitu. Hanya saja 'kan Zea juga manusia bisa merasa kesal karena cemburu. Ya meskipun nggak berhak juga sih.
Zea mendesis kesal, semakin di pikirkan semakin membuatnya stress. Gadis itu berbelok untuk menyebrang jalan menuju halte bus dengan kepala yang tertunduk tanpa menatap kanan dan kiri sampai tak sadar ada sebuah motor melaju kencang dari arah kiri, namun untungnya seseorang dengan sigap menariknya. Menyelamatkannya.
"Lo mau mati?! Kalo mau bunuh diri jangan di depan gue dong. Kalo gue trauma gimana?!"
Zea mengerjapkan matanya. Belum merespon omelan seseorang yang telah menyelamatkannya.
Roland Andreas, pemuda dengan seragam tanpa atribut dan sengaja dikeluarkan dari celana itu mengibaskan tangannya didepan gadis yang sejak tadi ia perhatikan membuat Zea tersadar.
Zea segera mendongak dan membulatkan matanya saat mengetahui siapa orang yang telah menyelamatkannya. "Lo...?"
Roland mengerutkan keningnya saat gadis dihadapannya tidak menyelesaikan ucapannya. Sebenarnya Roland ingin mengabaikan gadis ini, namun khawatir saat gadis itu tak kunjung sadar dari lamunannya membuat ia memutuskan untuk menepi dan menarik gadis itu ke pinggir jalan sampai repot harus menepikan motornya terlebih dahulu.
Zea menarik tangannya yang masih dipegang oleh Roland. Gadis itu lantas menampar lengan Roland begitu saja membuat pemuda itu terkejut. Pasalnya ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa mendapatkan tamparan dilengannya?
"Lo cowok yang waktu itu nabrak gue sampe jatuh tahu gak?!"
"Ha? Masa sih?" tanya Roland bingung.
"Iya! Waktu itu Bu Imut yang kejar lo," ucap Zea mengingatkan.
Roland membuka mulutnya saat mengingat kejadian itu. "Ah, iya sori." Pemuda itu nyengir kuda.
"Gak bertanggung jawab banget jadi cowok," omel Zea.
Roland menatap Zea tidak percaya. Pemuda itu bersedekap dada. "Kayaknya lo lupa barusan siapa yang udah nyelametin lo."
Zea terdiam saat menyadari itu.
"Impas 'kan?" tanya Roland.
Merasa tidak tahu malu. Zea berdeham dan mengangguk saja. "Makasih," ucapnya.
"Santui," balas Roland. "Gue mau pulang. Rumah lo dimana? Biar gue anter."
"Ha? gak usah gue pulang sendiri aja. Makasih sekali lagi."
Roland mendengkus. "Buruan, gak usah pake nolak. Gue kasih tahu, banyak banget cewek yang mau pulang sama gue."
"Syukur kalau gitu."
"Dih, nyebelin lu." Roland menoyor kening Zea begitu saja setelah itu menarik tangan Zea menghampiri motornya yang tak jauh dari tempat keduanya berdiri.
Zea mengerjap kaget. Tidak percaya jika pemuda yang tidak ia kenal menoyor keningnya.
"Oh iya, nama gue Roland," ucapnya setelah naik keatas motor dan memberikan helm kepada Zea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...