Iridescent | Bagian 19

4K 372 9
                                    

Zea keluar dari pekarangan rumah untuk membuang sampah. Ia tak bergegas masuk kembali, kini malah memperhatikan rumah didepannya yang masih terang benderang, padahal biasanya tidak.

Suasana pagi yang mendung membuat udara terasa dingin. Kedua telapak tangannya ia gesekan untuk menciptakan kehangatan. Semakin tidak ingin beranjak pergi saat sebuah mobil yang baru saja datang kini berhenti tepat didepan gerbang rumah Atlas.

Seorang pria bersetelan formal keluar dari mobil Pajero yang sempat dikendarai. Pria itu sesekali menekan bel rumah Atlas, namun tak kunjung ada orang yang keluar.

Menyadari diperhatikan oleh orang yang berada di seberangnya. Aryo- Pria yang sedari tadi menekan bel segera melangkah menghampiri gadis remaja berbalutkan kardigan berwarna merah muda itu.

"Zea?"

Kerutan halus tercipta didahi Zea. Beberapa detik kebingungan sampai akhirnya teringat jika Pria dihadapannya adalah Ayah dari Atlas.

"Ah, iya Om? Maaf Zea baru sadar kalau itu om," ucap Zea tidak enak hati. "Bagaimana kabarnya, Om?" tanyanya setelah sebelumnya menyalimi tangan Aryo.

"Baik, Zea." Aryo tersenyum hangat. Memaklumi jika gadis remaja didepannya lupa akan dirinya yang terakhir bertemu itu tiga tahun yang lalu.

"Tumben Om pagi-pagi ke sini."

"Iya nih." Aryo menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. "Kamu tahu gak Atlas sama Bundanya kemana? Om telpon gak ada yang aktif, biasanya weekend begini Farah nemenin Atlas dirumah."

Zea yang ditanyai begitu ikut bingung. "Mungkin Tante Farah sama Atlas jalan-jalan Om?" Jawaban yang terdengar seperti pertanyaan, karena Zea juga tidak tahu sama sekali. Ragu akan tebakannya.

Aryo mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya mungkin ya," ucap Aryo. "Kalau gitu makasih ya, Zea. Om pamit pergi lagi."

"Iya sama-sama. Hati-hati, Om."

Aryo tersenyum, berbalik badan hendak menuju mobil namun berhenti dan kembali menghampiri Zea membuat gadis itu mengernyit bingung.

"Ah iya Zea, om lupa sesuatu. Zea 'kan deket sama Atlas, om mau minta tolong. Kalau misalnya Atlas sama Tante Farah sudah pulang, tolong Zea kabarin Om ya? Ini kartu nama Om yang baru. Saya ganti nomor belum lama ini." Aryo merogoh saku dalam jasnya dan menyerahkan kartu nama yang ia ambil pada Zea.

Zea menerimanya dengan sopan, gadis itu tersenyum. "Iya om, nanti kalau Tante Farah dan Atlas pulang saya kabarin Om."

"Baiklah kalau gitu, om pamit dulu. Sekali lagi terimakasih ya Zea."

"Iya om sama-sama."

Aryo tersenyum gemas, menyempatkan diri mengusap lembut puncak kepala Zea sebelum melangkah menuju mobilnya. Aryo juga membunyikan klakson berniat pamitan kepada Zea yang masih berdiri di depan rumah ketika akan pergi.

Zea menghela napas ketika mobil yang di tumpangi Aryo sudah melaju jauh. Gadis itu memandangi rumah yang berhadapan tepat dengan rumahnya lamat. Jangankan memberi kabar pada Om Aryo, setelah pertengkaran kemarin saja, Zea tak tahu kabar apapun tentang Atlas. Apalagi kemarin Zea menghabiskan waktu bersama Cantika dan Mera, tak ada waktu untuk bertukar kabar pada pemuda itu. Mau bertukar kabarpun mana bisa, mereka sedang perang dingin. Walau Zea tidak tahu apa yang membuat pemuda itu semarah ini padanya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang