Mera menunduk melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya kemudian melongok keluar pintu kelas. Koridor yang mulai sepi karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi membuatnya terlihat gusar.
Sedangkan, Cantika sibuk di dalam kelas, sedang bersama Windi-teman sekelasnya, membahas make up keluaran terbaru.
Mera menegakkan punggungnya saat melihat Atlas yang melangkah kearahnya. "Darimana?" tanyanya saat Atlas telah memasuki kelas.
"Ruang Klub Olimpiade," jawabnya.
Mera mengikuti Atlas sampai pemuda itu duduk di kursinya. "Zea kemana?"
Untuk beberapa saat, Atlas menatap Mera sebelum akhirnya menggeleng. "Harusnya dia sampe duluan di kelas."
"Dia udah ke sekolah?" tanya Mera sembari berkacak pinggang.
Atlas berdeham saja. Pemuda itu mengeluarkan handphone dari dalam saku celananya.
"Terus sekarang kemana?" tanya Mera mulai jengkel.
Atlas menghembuskan napasnya. "Gue gak tahu, emangnya kalau kemana-mana dia suka laporan ke gue apa," balasnya. "Enggak, kan?"
Mera memutar bola matanya jengah, gadis itu duduk di kursi Zea. Tepat di samping Atlas.
"Lo gak cariin dia?" tanya Mera gemas sendiri.
"Nanti juga balik sendiri," jawabnya sembari membuka-buka buku paket yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas.
"Lo kok gak perhatian banget sih sama Zea?!" tanya Mera dengan intonasi suara yang sedikit meninggi.
Kelas jadi hening karena seruan gadis yang sudah terkenal galak sejak kelas sepuluh itu. Cantika dan Windi menatap kebingungan di bangku masing-masing. Yang lain juga jadi memperhatikan.
Atlas menghela napas merasakan itu. "Gak usah berlebihan."
Mera mendecih mendapatkan respon seperti itu. "Lo beneran gak sepeduli itu?" tanyanya menatap Atlas tak percaya. "Kalau posisi kalian ke balik. Lo tau? Zea bakal keluar kelas dari tadi cuma buat cari lo!" cetus Mera.
Atlas tak menanggapi. Mera hanya menilai dirinya daripada yang gadis itu lihat. Jelas, Mera tahunya ia keluar untuk ke Ruang Olimpiade, namun nyatanya ia justru mencari Zea.
"Kenapa gue ngerasa, di hubungan kalian nggak ada timbal baliknya?" Mera melanjutkan ucapannya. Sementara Atlas hanya diam mendengarkan, malas berdebat.
"Atau sebenernya lo tau dan lo nggak mau Zea berharap lebih?" tanya Mera kemudian kini berhasi membuat Atlas mengernyit bingung. "Iya, kan?"
"Pembahasan lo mulai ngaco, gue gak paham." Atlas pura-pura tidak paham meski nyatanya ia benar-benar paham kemana arah pembicaraan Mera.
Mera mendengus saat bel tanda pelajaran pertama di mulai berbunyi. Gadis itu bangkit dari duduknya. "Kalau emang gitu It's oke. But, seenggaknya kasih dia perhatian sebagai tanda lo peduli sama sahabat lo. Jangan gak acuh kayak gini. Lo bikin Zea sedih selama ini." Setelah mengatakan itu, Mera beranjak pergi.
Atlas menunduk beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat wajah. Atlas memandangi pintu kelas, banyak teman satu kelasnya yang terburu-buru memasuki kelas karena datang terlambat. Tapi ia tidak menemukan gadis itu.
Atlas menatap layar handphone yang menampilkan roomchat antara dirinya dan Zea. Ingin menelpon namun urung saat mendapati seseorang yang baru saja masuk ke dalam kelas.
Mera yang duduk di belakang bersama Cantika menghela napas lega saat Zea datang.
Zea, gadis itu melangkah menghampiri kursinya dengan napas tidak beraturan. Menyimpan tas lalu mengeluarkan botol minum setelah sebelumnya duduk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Ficção AdolescenteJudul Awal: How Would You Feel? Di dunia ini, Zea hanya menginginkan tiga hal. 1. Selalu bersama mama, 2. Bertemu papa dan, 3. Atlas. Kehilangan seorang ayah diusianya yang masih kecil membuat Zea sangat bergantung kepada sang mama. Ia tidak ingin d...