Stalker (Sakura POV)

7.9K 752 61
                                    

Aku tak tahu kapan dimulainya. Awalnya kukira alasanku selalu mengamatinya adalah karena dia tampan. Oh ya, siapa yang tak suka melihat pria tampan. Bahkan gadis pemalu sekaliber Hinata Hyuga–teman satu kelasku–saja diam-diam menyimpan perasaan pada Naruto Si Kapten sepak bola kampus yang tampan dan berkulit tanned.

Jangan tanya kenapa aku tahu itu sedangkan tadi aku menyebutkan diam-diam dalam kalimatku. Dengan raut wajah Hinata yang mudah dibaca, mungkin hanya Naruto saja yang tak menyadarinya.

Masalahnya aku tak bisa membantu apa-apa. Aku bahkan tak bisa memaksa diriku untuk merasa kasihan terhadap Hinata. Karena nasibku juga tak jauh berbeda darinya.

Aku naksir berat dengan Sasuke Uchiha. Sebenarnya kalimat itu sangat meremehkan arti perasaanku terhadapnya. Oke, aku jatuh cinta. Masalahnya tak hanya aku yang jatuh cinta dengan pria itu. Katakanlah, Sasuke Uchiha yang kumaksud adalah perwujudan nyata dari patokan tertinggi yang diharapkan para gadis dalam mencari kekasih.

Oh, dia memang tak sesempurna itu. Dia hanya tampan, pintar, dan dia keren. Gosip di kampus menyebutkan kalau dia juga berasal dari keluarga kaya raya. Tapi dia juga angkuh, dingin, dan sama sekali tak pandai bersosialisasi. Dia tak mengikuti kegiatan apapun di kampus, dan hanya–yah kuliah. Satu-satunya orang yang tampaknya betah berdekatan dengannya hanya Naruto Uzumaki.

Lihat! Aku dan Hinata benar-benar senasib. Kami jatuh cinta diam-diam pada pria-pria yang terlalu mencolok dan selalu dikelilingi para wanita. Benar-benar menjengkelkan.

Alasan perasaanku pada Sasuke bahkan tak terlalu jelas. Aku hanya suka melihatnya dan aku tak bisa berhenti melihatnya. Aku tahu ini dangkal sekali. Aku sempat berpikir kalau aku hanya terpesona. Tapi biasanya terpesona juga ada batasnya.

Aku tetiba saja teringat tentang perjuanganku yang teramat keras untuk melupakannya. Aku juga tahu tak ada yang bisa aku harapkan dari perasaan satu arah ini. Lagipula dia tak sebagus itu sampai harus membuatku patah hati. Tapi entah aku sudah dikutuk atau aku memang sesial itu; aku tak dapat melupakannya begitu saja.

Ini menjengkelkan. Ini benar-benar menjengkelkan. Karena kami bahkan satu fakultas, satu angkatan, dan kami berada di kelas yang sama di dua mata kuliah. Tapi kami sama sekali tak saling mengenal. Setahuku dia memang tak mengenalku. Aku berani bertaruh dia juga tak mengenal sebagian besar teman satu angkatan sekaligus satu fakultasnya. Dia memang orang seperti itu.

Sial. Sekarang aku benar-benar terdengar seperti penguntit.

Hari ini hari itu. Satu dari dua hari aku sekelas dengannya. Aku datang tepat waktu untuk mengambil bangku paling atas. Aku tak suka berada di bagian depan. Itu membuatku tak bisa memperhatikan orang-orang. Lagipula aku bisa mengamati punggungnya dari sini. Menjadi penguntit untuk kesekian kalinya.

Lalu dia masuk ke ruangan. Aku menahan napas begitu dia mengambil tempat duduk tepat di sebelah kananku.

Senang? Tidak. Aku sama sekali tak senang. Aku khawatir akan mempermalukan diri sendiri dengan bertindak seperti boneka yang bisa bergerak.

Keadaan ini menyebabkan tubuhku tak bisa bergerak banyak. Aku juga merasakan titik-titik keringat mengalir di punggungku, juga dahiku. Aku menggunakan tangan kanan untuk mencatat apapun yang harus kucatat, dan tangan kiri untuk mengusap wajahku tanpa kentara. Ini benar-benar gila.

"Tulisanmu bagus."

"Ah–eh?" Oh ya bagus. Bagus sekali. Pertama kalinya aku mendengar suaranya dari jarak dekat, dan aku menanggapinya seperti bayi yang baru belajar berbicara. "Terima kasih." Untungnya aku bisa mengeluarkan balasan yang wajar, bukannya malah menyatakan cinta.

Diam lagi di antara kami.

Tanganku masih mencatat secara konstan. Aku rasa aku mulai mengharapkan banyak hal, karena aku menangkap tatapannya dari ekor mataku. Itu tidak mungkin 'kan?

"Hei Sakura?"

"Ya?" Aku menoleh cepat. Dia menggeleng sembari terkekeh pelan.

"Tidak apa-apa," ujarnya.

Aku mengerutkan dahi. Sepertinya ada sesuatu yang aku lewatkan. "Kau tahu siapa aku!" Aku hampir terpekik saat mengatakannya.

Kali ini dia menyeringai. Dan itu seksi sekali. "Apa ada alasan hingga aku tak mungkin mengenalmu?"

Aku menggeleng, "Lupakan saja," jawabku defensif. Dia tak tahu kalau aku hampir melayang karena perilakunya. Seharusnya ada undang-undang yang melarang pria tampan menyeringai sesuka hati.

"Apa itu?" desaknya. Baru beberapa menit yang lalu aku merana dengan keyakinan tinggi kalau dia tak mengenalku. Sekarang aku tak tahu lagi apa yang kurasakan. Isi kepalaku rasanya berantakan.

"Bukan apa-apa," balasku kaku. Aku ingin bicara lemah lembut dan bersikap manis. Tapi aku tak bisa melakukannya karena suaraku akan terdengar bergetar.

"Sakura," panggilnya lagi. Aku memejamkan mata sebelum menyahut. "Ya?" Ini benar-benar menjengkelkan.

Ia merebut pena yang sejak tadi aku gunakan sebagai tameng dan menuliskan sesuatu di buku catatanku. Aku memandangnya tak percaya. Semakin tak percaya ketika dia mendekatkan wajahnya padaku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, jadi aku memilih untuk memejamkan mata.

"Perhatikan ke depan, Sakura," bisiknya tepat di wajahku. Wajahku yang terasa memanas.

Aku membuang muka darinya. "Sial!" Dan aku kembali mendengar kekehannya.

Aku jatuh cinta pada Sakura si Penguntit.

Romantic Side UndercoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang