Dream, Beach and A Man #1

2.4K 305 37
                                    

Salah satu hal yang menjadi pelengkap dalam hidupku adalah mimpi. Sebuah kata yang memiliki banyak sekali teori namun tak satu pun dapat memuaskan setiap pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku selama bertahun-tahun.

Apa itu mimpi?

Apakah itu bayangan dari masalalu?

Apa sesuatu yang akan terjadi di masa depan?

Atau hanya bunga tidur seperti yang banyak orang-orang bicarakan?

Jika itu masalalu, mustahil aku tak mengingatnya sedikit pun. Aku bukan orang yang sedang menderita amnesia. Aku tak punya trauma apa pun yang membuatku telah melupakan sesuatu. Aku manusia normal yang sehat dan bahagia. Sebaliknya jika itu masa depan, bukankah aku orang yang sangat beruntung? Ya, aku akan menjadi orang paling beruntung di dunia karena bisa melihat masa depanku sendiri. Tapi itu tak masuk akal. Ini bukan drama. Idealismeku yang tersisa tak dapat menerima hal seperti itu. Namun aku juga tak bisa menerima jika itu hanyalah bunga tidur. Bunga tidur seharusnya tak sejelas itu. Tak juga datang berulang-ulang dan membuatku seolah-olah hidup di sana.

.

.

Dream, Beach and a Man

.

.

Bau pekat air asin. Embusan angin. Jejeran pohon kelapa dan cemara. Pasir lembut. Dilatarbelakangi suara ombak yang menderu. Itu adalah sesuatu yang tak lagi asing bagiku. Meski pun aku bukan anak yang hidup dan besar di pesisir pantai, namun keberadaan pantai sama akrabnya dengan gedung-gedung tinggi di kota Konoha bagiku.

Tatapanku mengitari sekitar, mencari benda atau seseorang atau apa pun yang dapat membuktikan bahwa itu bukan hanya sekadar mimpi. Tapi yang lagi-lagi kudapati hanyalah keputusasaan. Selain pantai ini, tak ada yang terasa familiar disini. Ayah dan anak yang sedang membuat istana pasir, tidak kukenal. Sepasang kekasih yang berjalan bergandengan tangan, juga tidak kukenal. Tak ada yang kukenal disini. Tak ada juga yang mengenalku. Aku hanya salah satu pengunjung yang lebih sering datang kemari dibandingkan pengunjung lainnya. Tak ada yang benar-benar istimewa. Setiap kali aku memikirkan hal itu, setiap kali pula aku merasa putus asa. Tapi ketika mimpi itu datang lagi, aku mencari lagi. Tak peduli jika itu akan sia-sia. Tak peduli jika hatiku terasa sakit tanpa alasan yang benar-benar jelas.

Aku pulang hari ini dengan kekecewaan yang sama dengan waktu sebelumnya. Gedung-gedung yang tinggi di kota Konoha tak bisa menghiburku kali ini. Bahkan bangunan besar bercat putih favoritku yang berdiri kokoh di hadapanku sekarang hanya sedikit mampu mengurangi kekecewaan itu.

"Dokter Haruno, kau selalu datang tepat waktu ya?" Aku baru saja memasuki ruangan kerja ketika pintu terbuka dan sosok ceriwis pengganggu dengan seenaknya duduk di kursi kerjaku sambil menyengir tanpa perasaan canggung sedikit pun.

"Pergi sana!" Usirku. "Apa kau tak punya pasien yang harus kau obati?" Lagi-lagi dia menyengir sembari mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Jas putihnya sedikit kotor di bagian pinggang, seperti ada seseorang yang sengaja mengelap noda cokelat ke bagian tersebut.

"Setidaknya bersihkan dulu noda itu." Ia tergopoh menangkap sekotak tisu basah yang kulemparkan ke arahnya. Sekarang pukul tiga lewat lima belas sore. Masih ada waktu lima belas menit sebelum operasi dimulai. Hari ini lagi-lagi aku melewatkan makan siang normal. Hal yang tampaknya telah menjadi rutinitas sehari-hari. Aku hanya menghabiskan sepotong biskuit madu dan segelas kopi hitam. Tak bisa membuat perutku kenyang tapi setidaknya dapat memberikan sedikit tenaga sampai operasi selesai. Itu juga tak pernah memengaruhi kinerjaku. Karena aku bukan orang yang sangat menikmati makanan.

"Dari pantai lagi?" Ia bertanya. Aku mengangguk, membuka catatan medis salah satu pasien baru yang diletakkan Ino–orang yang duduk di hadapanku sekarang–di atas meja kerjaku. Seorang anak berusia dua belas tahun. Pernah mengalami kecelakaan saat berusia sepuluh tahun. Dan sekarang harus menghadapi tumor otak. Aku menggeleng sedih.

Romantic Side UndercoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang