Selama bertahun-tahun Sakura selalu membayangkan ketika ia menikah maka pria yang dinikahinya haruslah seseorang yang menghabiskan banyak waktu di balik meja kerja. Ia membayangkan di belakang tempat duduk pria itu di ruang kerja, rak-rak tinggi yang terbuat dari kayu berpelitur dipenuhi oleh buku-buku tebal yang tak terhitung jumlahnya.
Suaminya ada di sana, sedang serius membaca satu berkas yang terlihat sangat penting. Cangkir kopi yang beberapa menit lalu sudah kosong, kini sudah diisi kembali, berdiri angkuh di sebelah laptop berwarna hitam yang terlihat menyala di atas meja. Sakura memerhatikan wajah tampan dan berpendidikan itu. Panjang rambut suaminya tak pernah melebihi bawah telinga. Kacamata hampir selalu bertengger di hidungnya. Kemejanya yang bersih dan selalu menguarkan wangi cologne, dilipat di bagian lengan sampai ke siku. Kulitnya putih, bersih, dan jarang terkena sinar matahari.
Lalu suaminya mengangkat kepala, melihatnya, dan tersenyum.
"Sayang," panggil suaminya lembut. "Kemarilah."
Sakura tersenyum. Senyum yang penuh kenangan. Senyum yang sama seperti ketika ia menonton Drama Korea atau membaca novel-novel romantis. Sampai sebuah suara membuyarkan bayangan itu. Kini yang terlihat di hadapannya adalah sofa tunggal tua yang terlihat nyaman, yang menghadap langsung dengan televisi layar LCD yang tak dinyalakan.
Suara itu terdengar lagi. Senyumannya semakin lebar. Kali ini senyum itu terlihat nyata, terlihat jauh lebih bahagia.
Sakura memutar langkahnya, mencari sumber suara yang berasal dari luar itu. Dan apa yang dilihatnya ketika membuka pintu samping rumah adalah hal yang tak akan pernah ia lewati seumur hidup. Bahu lebar. Dada bidang yang kini terbakar sinar matahari. Ada bekas luka yang memanjang di lengan sebelah kiri.
Tatapannya menelusuri lengan itu, sampai berhenti sejenak pada benda yang berada dalam cengkeraman mantap seorang pria. Sebuah cangkul. Senyumannya lagi-lagi muncul saat melihat jeans tua berwarna alami yang dikenakan pria itu, menggantung di pinggulnya, panjang, lalu tenggelam di balik sepatu bot cokelat yang juga tua. Setua warnanya.
Suara decakan yang menegur membuat Sakura tersentak dari keterpanaan. Pandangannya naik, mendapati mata kelam yang familiar sedang memerhatikannya. Rambut pria itu sedikit lebih panjang dari standar biasa, dan berwarna seperti langit malam. Pria itu memiliki bibir lebar yang lebih tebal di bagian bawah, berwarna kemerahan.
"Mau mencoba menanam bunga mataharimu sendiri, Sakura?"
Sakura.
Bukan Sayang. Bukan cinta. Atau bahkan Mi querida. Dan untungnya bukan julukan menggelikan semacam Strawberry Shortcake atau my babydoll.
Hanya Sakura. Diucapkan dengan suara yang dalam dan sedikit serak. Disertai tatapan tegas dan senyum percaya diri.
Hanya Sakura. Dan itu membuat seolah bunga favoritnya, bunga matahari, sudah memenuhi halaman kosong di sisi kiri rumah mungil mereka, bukannya baru akan ditanam.
Hanya Sakura. Dan itu cukup membuatnya lupa tentang suami khayalannya di masa-masa sebelum bertemu pria ini dulu.
Hanya Sakura dan suaminya yang jauh berbeda dari tipe idealnya selama ini.
Tapi ia bahagia luar biasa.
.
.
Judul aslinya 'Hanya Seara'
Ini dulu khayalan aneh gue pas lagi jenuh dengan dunia perkotaan haha. Kadang gue berpikir gimana rasanya menjalani hidup yang simpel tanpa tuntutan dari sana sini dengan orang yang gue cintai dan mencintai gue tanpa merasa harus jadi yang sempurna.
Ga ada manusia yang sempurna memang. Tapi tuntutan untuk menjadi sempurna itu selalu ada, betul? Padahal jalan menuju sempurna itu ngebuat kita kesepian setengah mati.
Ah, jadi curhat ga nyambung
Gitu aja deh. See ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantic Side Undercover
FanfictionStory List o Never Just be Friend o Stalker o Brother's Friend o I'm not Your Fans o A Little Braver o I say I Love You o Putus o Rain and Kisses o The Night Warrior o The Covenant of Marriage o Pain and Perfect Mate o Hanya Sakura o Dating Days For...