A Little Braver (2)

3.3K 525 42
                                    

Jika Sasuke ingin berbicara dengannya, dan memang terlihat seperti itu, maka pria itu harus memulainya lebih dulu.

*

Tak butuh waktu lama untuk Sasuke melakukannya.

"Kau mengajukan diri untuk kembali ke sana," ujar Sasuke. Nada suaranya datar seperti biasa.

"Ya," jawab Sakura, mengerti kemana arah pembicaraan mereka.

Diam sejenak. Sakura masih enggan untuk membuka matanya.

"Tanggal pernikahan kita sudah ditentukan." Sakura menahan dirinya agar tak meringis setelah mendengar berita baru ini. "Akan diadakan dua bulan setelah pernikahan putra tunggal Senator Uzumaki." Sekarang Sakura tak bisa menahan diri untuk terkekeh. Sejak kapan teman seniman menjadi putra tunggal Senator Uzumaki?

"Aku hanya harus pulang pada hari itu," jawab Sakura enteng. "Tak akan ada masalah."

Sasuke lama terdiam setelah itu. Tapi Sakura tahu pria itu masih berada di sana; mengawasinya mungkin dengan raut wajah datar seperti biasa. Atau juga geram. Mau bagaimana pun ini menyangkut harga diri pria itu yang memang dengan sengaja ia usik.

Sakura membuka matanya setelah cukup lama menunggu dan tak ada tanggapan dari Sasuke. Seperti yang ia duga, Sasuke masih berada di sana, menyandarkan satu bahunya sambil mendekap lengannya di dada. Sakura memutuskan untuk duduk sambil menghadap pria itu. Tak nyaman memang. Apalagi jarak mereka hanya sekitar empat langkah.

"Jadi apalagi masalahnya?" Tanya Sakura ketika Sasuke tak juga membuka mulut. "Apa ada hal lain yang perlu kudengar, atau ada syarat yang ingin kau utarakan terkait pernikahan kita?"

Sasuke menghela napas. Pria itu menghela napas! Sasuke tak mendengus seperti yang biasa ia lakukan. Itu cukup mengejutkan.

Jadi butuh waktu satu tahun untuk mengubah dengusan menjadi helaan napas. Apa ini waktunya Sakura untuk merasa tersanjung?

"Kau membicarakan pernikahan seolah itu hal yang biasa-biasa saja," kata Sasuke. Raut wajahnya masih sulit dibaca. Ia juga tak bergerak dari tempat ia berdiri tadi.

Sakura menekuk kedua kakinya dan memeluknya di depan dada. Ia menatap Sasuke dengan raut wajah yang dibuat bosan. Sakura sudah menyimpan kemarahan ini selama lebih dari satu tahun. Jadi sudah sepantasnya jika ia mengembalikan kemarahan ini pada Sasuke.

Ia ingin melihat kemarahan pria itu. Ia ingin membuat Sasuke geram sampai pria itu berniat untuk memukulnya. Akan lebih baik jika pria itu memukulnya. Kekerasan, penganiayaan, bisa menjadi jalan pintas untuk membatalkan pernikahan mereka.

"Sebaliknya," kata Sakura. "Aku sudah memikirkannya dengan sangat serius." Ia tersenyum lebar "Apa salahnya dengan pernikahan 'kan? Kita bisa menikah. Setelah itu kita bisa menjalani hidup kita masing-masing. Aku akan kembali ke Munchen. Kau bisa tetap melakukan apapun yang kau sukai seperti biasanya." Sakura menekankan kalimat terakhir.

Anehnya alih-alih marah, Sasuke terlihat setenang seorang pendeta. Pria itu menatapnya untuk beberapa detik sebelum berjalan mendekat. Sakura menaikan satu alis ketika pria itu memutuskan untuk duduk di sebelahnya, di atas dedaunan yang tak ditutupi scarf.

Ini adalah kali pertama bagi mereka untuk berada sedekat ini dengan posisi yang bisa dikatakan cukup bersahabat. Jika orang lain yang mengenal mereka melihat situasi ini, tentu hal itu akan menimbulkan berbagai spekulasi. Pada akhirnya orang-orang akan menyimpulkan bahwa mereka berdua paling tidak sudah mulai menyukai satu sama lain.

Tapi Sakura tak berniat untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia rasa sudah terlalu terlambat untuk itu. Rasa sakit yang ia alami dulu dan kenyataan bahwa ia memutuskan untuk pergi hanya karena tak mampu menanggung rasa sakit itu. Orang-orang tak akan pernah memahaminya. Uchiha Sasuke tak akan memahaminya.

Romantic Side UndercoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang