As long as he can remember, Park Jisung merasa tidak pernah sekali pun ia mendapatkan perlakuan yg baik.
Ah, sebenarnya tidak juga.
Saat pemuda berusia lima belas tahun ini masih menetap di panti asuhan, satu-satunya orang yg memperlakukannya dengan lembut hanyalah ibu pemilik panti. Tidak peduli bagaimana pun seorang Jisung, sang ibu panti tetap akan memperlakukannya dengan sangat baik terlepas dari perbedaan yg ia punya. Tidak seperti orang kebanyakan.
Park Jisung, atau Andy Park, lahir dan besar di panti asuhan di daerah utara kota New York, pada sebuah neighborhood di Bronx County. Pun sebenarnya ia tak tahu apakah ia memang lahir disana, namun ibu panti cukup implisit sehingga terkadang Jisung memang percaya bahwa ia lahir disana dan dibantu oleh ibu panti itu sendiri.
Masih diceritakan oleh sang ibu panti, ibunya meninggal saat melahirkan Jisung, dan mereka tak pernah tahu siapa gerangan ayahnya. Ibunya merupakan wanita kaukasia yg berdarah Korea dan seperti melihat bagaimana rupa Jisung sekarang ini, nampaknya ayahnya pun berdarah Asia. Ibunya dan ibu panti berteman semenjak mereka masih muda.
Jisung, menjadi samsak tinju beberapa anak di panti asuhan karena ia berbeda. Ya, sejak lahir, rambut Jisung sudah berwarna biru terang. Warna yg masih disangka orang-orang ia ubah. Dan juga tak ada gunanya lagi memberitahu orang-orang yg melihatnya aneh atau mengganggunya dengan memberitahu mereka bahwa rambut Jisung adalah asli. Toh, mereka juga tidak akan percaya.
Jisung berhenti berhenti bertidak defensif semenjak ia tahu jika ia melawan, ia mampu membuat siapa pun yg mengganggunya masuk rumah sakit.
Tenang, itu hanya terjadi sekali, kok. Saat itu usia Jisung bahkan masih lima tahun dan ia tak mengerti apa-apa. Ia melawan saat itu pun juga karena tak sengaja. Ia sangat kesal karena setelah sekian lama ia menunggu untuk membeli sepatu baru, anak-anak yg kerap mengganggunya tersebut justru melemparkan sepatunya di danau buatan ujung perumahan mereka.
Jisung tidak menangis, namun kekesalannya memuncak dengan drastis hingga ia tak mampu mengontrol emosinya sendiri. Jisung tak ingat banyak sebenarnya, apa yg terjadi saat itu. Yg ia tahu, ia marah besar dan dadanya serasa meledak-ledak, lalu ia menatap ke bocah yg membuang sepatunya tersebut, lalu detik berikutnya yg ia dengan adalah teriakan seseorang.
Lalu ia melihat bocah tersebut sudah mengapung di atas danau yg entah bagaimana bisa airnya menjadi sedingin es. Anak tersebut tidak mati, namun ia kedinginan dan terancam terkena hipotermia sehingga ia pingsan saat itu juga. Bocah itu dirawat dirumah sakit selama seminggu, namun bukan itu yg paling membuat syok.
Fakta bahwa kaki tangan bocah tersebut lumpuh karena tulangnya sudah mati dan tak bisa digerakkan lagi.
Awalnya, dokter bilang bahwa kemungkinan bocah tersebut lumpuh karena tulangnya yg berhenti berfungsi oleh dinginnya air danau. Namun tetap saja, setelah difikir beberapa kali tak ada alasan yg logis dan masuk akal, bagaimana seseorang jatuh di danau yg mendadak suhunya turun drastis lalu tiba-tiba ia lumpuh?
Saat itu, Jisung tahu bahwa ada yg salah dari dirinya. Ia tak tahu apa dan bagaimana, namun yg ia tahu, jika emosinya sudah diluar kendali, maka tidak akan ada hal bagus yg datang setelahnya.
Meski pun ia tahu itu perbuatannya, namun ibu panti tak sekali pun menyalahkan. Yah, karena juga saat itu saksi mata yg berada disana bisa dikatakan membela Jisung. Ah, sebenarnya tak bisa dikatakan begitu juga.
Saksi mata tersebut tidak membela Jisung karena ia bahkan tak mengenal anak-anak dari panti yg bermain di tepi danau. Pria berkulit gelap yg menjadi saksi mata tersebut hanyalah seorang pedestrian biasa yg tak sengaja lewat dan tepat pada waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CANINES
FanfictionTeen Wolf AU. Or not really. -JAEMREN -NOHYUCK Update tiap......kapan ya👀