39. The Sun

1.8K 294 57
                                    

Noted ; finally, kita berada di titik mengetahui perasaan Jeno yang sebenarnya><

—and yes, update karena momen kencang sampai kepala pusing gabisa mikir.

__________

Di siang hari itu, sebuah kalimat akhirnya terlontar dari bibir seorang Alpha bernama Jeong Jeno.

"I don't know exactly what went wrong, but I know it's always my faults."

Kalimat tersebut tentu saja menuai kontra. Sergahan adik kembarnya yang menolak dengan tambahan kalimat 'you did enough!' juga kalimat menenangkan milik ayahnya Doyoung Kim — tetap tidak bisa membuat perasaan bersalahnya menghilang. Berkurang pun tidak.

Jeno merasa segalanya menjadi tidak berguna, juga percuma. Ia merasa segala yang ia lakukan tidak akan pernah cukup, dan ketika Jeno merasa ia telah mampu dunia mulai kembali mempermainkan dirinya. Lagi dan lagi.

Seolah semesta membenci Jeong Jeno—meski pun Jaemin dengan keras membantah.

Hingga titik ini, Jeno yakin bahwa semesta memang membencinya. Jeno kerap kali terjebak oleh permainan tarik ulur, yang diramal oleh takdir namun dijalankan oleh semesta. Karena, jika semesta tidak membencinya, bagaimana bisa Jeno terus menerus terjatuh ketika ia berusaha untuk bangkit. Seolah ia tidak boleh bangkit kembali, setiap kali ia berusaha untuk bangkit, semesta memiliki cara untuk menjatuhkannya, lagi dan lagi.

'Bukankah itu tanda yang berarti semesta menyayangimu?'

Suara itu memasuki pikiran Jeno. Suara yang telah lama tak ia dengar, dan kembali, namun menghilang lagi karena permainan catur semesta dan Jeno adalah salah satu bidaknya.

'Semesta tidak mempermainkanmu, Jeno-ya. Semesta mengujimu. Seberapa mampu kau melewati semua ini.'

Kalimat tambahan itu kemudian terdengar setelahnya. Jeno ingat kapan ia mendengar kalimat-kalimat tersebut. Itu ketika Jeno berada di kelas kalkulusnya, duduk bersebelahan dengan pemuda secerah matahari, ketika ia mulai mengkhawatirkan Jaemin yang semakin hari semakin memburuk, sebelum Huang Renjun ditemukan.

Jeong Jeno saat itu memutuskan untuk mempercayai pemuda di sebelahnya. Bahwa semesta hanya mengujinya, dan menunggu dimana ia akan mampu untuk bertahan melewati semua ini; semacam sebuah tes. Dan Jeno ingat, senyum penyemangat yang diberikan oleh pemuda secerah matahari tersebut. Benar-benar senyum yang menyinari semua orang.

Menyinari Jeno.

Tapi apakah aku masih bisa berpikir bahwa semesta mengujiku ketika kau adalah salah satu objek yang diujikan kepadaku? Jeno berkata dalam hati.

Hatinya terasa kebas. Dan Jeno berpikir semua ini absurd, karena jelas. Semesta memang membencinya. Bagaimana semesta mampu mengambil satu-satunya hal yang merupakan kekuatan terakhir untuk dirinya tetap berdiri? Bagaimana semesta begitu kejam, jika bukan semesta menginginkan Jeno kalah dalam ujiannya ini? Karena jelas, Jeno pasti kalah.

Karena ia sudah tidak mampu berdiri lagi.

Bagaimana ia bisa terus mampu melanjutkan jika sesuatu yang menjadi kekuatannya diambil secara paksa?

Kekuatan terakhirnya.

Jeong Jeno menggigit bibirnya, menghentikan paksa isakan yang akan keluar lagi dari bibirnya. Rasa-rasanya, airmatanya sudah mengering. Namun hatinya terus berteriak memohon ampun karena rasa sakit itu telah menggerogoti seluruh tubuhnya. Ia bahkan tak berani untuk bangkit karena ia tahu pasti ia akan jatuh berguling. Kakinya terasa lemas.

CANINESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang