08_Lama

1.8K 354 275
                                    

Komen 150 bisakah? Terima kasih sudah menunggu, bersabarlah bagi kalian yang haus momen jungri, cerita ini tidak ringan pun tidak berat. Typos saya perbaiki besok pagi.

..

"Mana Adek?"

Rimba langsung berdiri saat Papa berlari menghampirinya di ruang tunggu UGD, Mama menemani Arimbi yang belum sadarkan diri. Semua terlalu cepat sampai Rimba bingung harus menjelaskan lagi, dia terlalu takut dimarahi oleh Papanya.

"Rimba, di mana Mama dan Adek?"

"Di sana..," Rimba remaja berusia delapan belas tahun namun tapi hatinya belum sekuat kakak sulung lainnya ketika menghadapi kenyataan kalau kini adik bungsunya terbaring lemah dengan luka serius pada bagian kepala. Dia bahkan menghiraukan sakit pada lengan dan kakinya karena terlalu panik mendapati Arimbi tidak juga membuka mata.

"Gimana, Ma?"

"Harus CT scan, Mama sudah tanda tangan tindakan," Mama mengusap jemari Arimbi yang mulai dingin. "Adek.., jangan bobok sayang. Buka matanya, Mama sama Papa sudah datang."

Rimba melihat dari balik tirai, kedua matanya memanas. Dia teramat sangat takut, bagaimana kalau Arimbi meninggal? Apa dirinya akan masuk penjara?

Sementara itu Bayu yang datang bersama Papa ikut berdiri di samping Rimba, "gimana bisa kecelakaan, Mas?"

Rimba menoleh ke samping, dilihatnya lekat-lekat wajah Bayu, "aku takut, Bay."

"Kenapa Mas Rimba sama Adek bisa jatuh?"

Rimba menggeleng, "aku juga bingung kenapa bisa jatuh..," Rimba masih ingat dia sempat menggeret tubuh mungil Arimbi supaya tidak terlindas truk yang melaju cepat di belakang dirinya yang terjatuh. Kurang dua detik saja, mungkin Arimbi sudah tidak berbentuk seperti sekarang.

"Aku takut," Rimba mengusap air mata yang turun dengan lengannya yang tersayat karena bergesekan dengan aspal.

"Mas," Mama muncul dengan satu pelukan pada tubuh Rimba yang jangkung.

"Mas Rimba luka, Ma. Jangan dimarahi ya?" Bayu ikut memeluk tubuh Mama.

"Udah jangan nangis, doain Adek gak kenapa-kenapa." Mama rasanya ingin pingsan tapi ditahan karena tidak ingin Rimba semakin merasa bersalah, semua putra putrinya masih membutuhkan dirinya saat ini. "Mas Rimba, Mas Bayu ingat kan pesan Mama? Kalau mau boncengin Adek, pakein helm. Mama paling kuatir kejadian kayak gini. Adek masih kecil, badannya mungil, kalau diboncengin di belakang harus dikasih pelindung."

"Maafin aku, Ma..," Rimba kian menunduk. Dada rasanya sesak sekali.

Bayu hanya terdiam, dilihatnya Papa berdiri di samping Arimbi yang terluka. Kalau seperti ini iapun juga ikut kuatir, "apa Adek bisa gegar otak?"

Mama mengusap pipi Rimba dan Bayu, "kemungkinan besar, tapi Adek mau CT scan dulu, kalian tunggu di luar ya? Doain biar Adek cepat sadar."

"Iya, Ma."

***

"Mas Bayu!" Arimbi mengangkat kedua tangan meninggalkan troli -yang ternyata cukup berat, untuk berhambur ke dalam pelukan sang kakak. Laki-laki jangkung itu sampai mundur ke belakang karena tubrukan sang adik.

"Katanya gak bisa jemput! Bohong ih!" Arimbi menepuk perut Bayu, "itu ngapain pake kacamata riben? Biar dibilang keren gitu?"

Bayu hanya tersenyum menemukan kolokannya Arimbi yang tiada duanya. "Udah bagus dijemput malah ngenyang, dasar bocil."

RaharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang