Dua Puluh Delapan

35 6 11
                                    

Sometimes it's the smallest decisions that can change your life forever.

AUTHOR
Gemuruh di kejauhan terdengar dari minimarket yang didatangi Theo. Awan gelap tergantung di langit menutupi sinar mentari yang hendak muncul. Sekitar pun ikut redup sejak beberapa saat yang lalu. Tiupan angin terasa menyelusup melewati benang-benang hoodie abu milik lelaki yang baru saja keluar dari pintu minimarket.

Rintik hujan sedikit demi sedikit turun menghujam aspal. Seakan aspal berdebu dan kering itu menantikan kehadiran hujan minta disegarkan oleh setiap butiran airnya. Bau tanah yang familiar datang menggelitik indra penciuman.

Theo sudah menduga hal ini akan terjadi. Untunglah ia sudah membawa payung sedari rumah sebelum pergi ke minimarket. Hujan yang tadinya hanya gerimis, sekarang semakin menjadi hujan deras. Ia segera menyibakkan payung, memayungkan diri menghindari buasnya titik hujan.

Dengan tangan kanan menggenggam tangkai payung, sementara tangan kirinya memegang kantong plastik hitam berisikan sekotak pena, Theo berjalan pulang menembus lebatnya hujan.

Tidak ada yang berlalu-lalang di saat hujan seperti ini, hanya dirinya. Tak masalah, Theo menikmati suasana ini.

Ia sudah sampai di depan pagar rumahnya. Pintu pagar itu terbuka sedikit lebar. Perasaan ia sudah menutup pintu pagar sebelum pergi.

Theo melihat bayangan seorang perempuan di balik pagar, terlihat menghadap ke arahnya. Ia memicingkan mata agar melihat lebih jelas karena hujan deras, sebelum menggerakkan kakinya melewati pagar.

"Kak Theo!"

Theo berhenti sejenak. Suara itu, ia mengenalinya. Evelyn. Ada perlu apa hingga Evelyn datang ke rumahnya saat hujan seperti ini?

Baju berlengan panjang, celana jins pendek, dan sepatu Converse putih. Evelyn melambaikan tangan dari beranda rumahnya.

Ngapain dia ke sini? batin Theo bingung.

Theo melanjutkan langkahnya yang tertunda. Menutup mekarnya payung, lantas menaruhnya di sudut beranda dan dibiarkan kering.

"Ada apa?" tanya Theo berhadapan dengan Evelyn.

Ia melirik ke arah meja kecil di sebelahnya, secangkir teh hangat. Lalu, melirik ke pos satpam, tidak ada orang. Kapan cewek ini datang kemari?

"Ada yang mau aku omongin," jawab Evelyn tersenyum manis.

"Aku" katanya? batin Theo janggal dalam hati.

Theo mengerutkan kedua alis bingung. Lantas mempersilakan Evelyn duduk di kursi kayu sebelahnya.

"Mau ngomong apa?"

Evelyn melebarkan senyumannya, yakin dengan keputusan yang sudah diambilnya. "Aku akan hidup untuk Kak Theo."

Lengang. Hanya suara hujan yang terus mengiringi mereka berdua di beranda rumah. Theo mendadak tidak tahu harus berkata ataupun berekspresi bagaimana.

"Kenapa?" Akhirnya pertanyaan itulah yang keluar dari mulut Theo dengan kebingungan.

"Karena Kak Theo adalah orang pertama yang ucapin kata-kata indah itu. Itu benar-benar buat aku mikir. Aku kira setelah Kak Theo tahu, Kakak akan merasa kasihan sama aku. Di sekolahnya aku yang dulu juga begitu. Mereka iba sama kondisi aku yang berpenyakit ini, dan aku gak suka dikasihani, aku cuma mau hidup normal. Makanya, hanya kepala sekolah dan guru penjas yang tahu di sekolah kita, sebelum kakak."

Penjelasan panjang dari Evelyn memang ada benarnya. Tentu semua orang menginginkan kehidupan normal apalagi di sekolah.

"Kenapa lo gak mau hidup buat keluarga lo? Kenapa harus gue?" tanya Theo masih tidak mengerti dengan Evelyn.

"Aku anak tunggal dari kedua orang tuaku yang sudah bercerai. Papa yang ambil hak asuh aku. Lalu, Papa menikah lagi setelah dua tahun, dan aku punya adik tiri setahun kemudian. Terus, untuk apa aku hidup buat mereka? Sementara pernikahan kedua orang tua aku aja berantakan. Cinta mereka mungkin cuma angin lewat. Orang tua mana yang mau talak tiga kalo anaknya udah didiagnosis penyakit jantung. Mereka gak mikir perasaan aku gimana?"

Theo menghembuskan napas berat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak pernah menghadapi situasi seperti ini, berbeda dengan Ellen waktu itu.

"Jujur, gue gak tahu harus gimana."

"Aku ingin buat momen spesial sebelum aku gak ada, sama Kak Theo. Aku ingin dekat dengan Kak Theo untuk waktu terakhir aku," ujar Evelyn menatap manik mata cowok yang selalu di pikirannya.

Hening.

"Gue udah punya pacar, Evelyn."

"Aku gak minta Kakak jadi pacar aku. Kakak anggap aku sebagai adik aja, aku udah seneng. Aku cuma mau kenangan indah sebelum waktunya, dengan orang yang aku suka," tutur Evelyn menatap sendu lantai pualam.

Derasnya hujan seakan terendam oleh pikiran Theo yang menjalar kemana-mana. Kenapa tiba-tiba seperti ini? Bukankah sebelumnya ringan-ringan saja?

Theo benar-benar bingung harus berbuat apa. Di sisi satu, jika ia melakukannya, sama saja seperti berkhianat dari Ellen. Di sisi lain, ia tak setega itu menolak permintaan Evelyn. Sungguh, ini pilihan yang sangat sulit.

Theo kembali menghembuskan napas seraya menyisir rambut messy-nya ke belakang dengan jari-jari tangan. Apa yang harus ia lakukan?

"5 bulan... Waktu yang gak lama kan?"

Evelyn menatap Theo lagi. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut cowok itu. Seharusnya ia sudah tahu, jika dirinya memang tidak ada harapan untuk ini. Matanya terasa panas, dadanya sakit. Ditolak seperti ini memang menyakitkan. Ah, semestinya ia tidak melakukan hal memalukan ini, mungkin urat malu sudah berteriak sedari tadi.

Dadanya sakit seperti ditusuk tombak lancip, membuatnya susah untuk bernapas normal. Terpaksa, Evelyn bernapas melalui mulut, menekan dada sebelah kiri, berharap rasa sakit itu segera mereda. Ya, Semenyedihkan itu hidupnya.

Evelyn berusaha bangkit dari duduknya, ia sudah tahu permintaannya akan ditolak, tidak perlu dijelaskan.

Satu langkah yang berat, Evelyn berjalan amat lamban.

Dua langkah, susah sekali untuk mengajak kaki bekerja sama dengan pikirannya.

Tiga langkah, ia harus segera berpegangan pada sesuatu. Jika tidak, ia akan terjatuh.

Empat langkah, Theo sudah membuat keputusan. Semoga keputusan yang dibuatnya tidak keliru.

"5 bulan. Kita bisa buat kenangan indah untuk lo," ucap Theo dengan cepat mencengkram bahu Evelyn, menahannya agar tidak jatuh terkulai.

Apa... Apa Theo mau menemaninya di saat waktunya yang tidak lagi banyak ini? Begitu menyenangkan mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Evelyn tersenyum lebar bersamaan dengan air matanya yang berlinang. "5 bulan..."

Tidak apa, waktu sesingkat itu biarlah menjadi abadi. Ia terlanjur jatuh hati dengan kakak kelasnya ini. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi kedepannya, toh hidupnya memang tak lama lagi. Ia hanya ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan orang ini.

Perasaan senang Evelyn melebur bertepatan dengan tubuhnya yang sudah lemas, jatuh pingsan.

- H E -

Annyeong yeorobun~
Semoga suka ya bagian dua puluh delapan~
Sorry kalo typo🙇🙇
Aku deadline bgt ketiknya 😩
Maapkan kalo pendek :(
Btw, aku gak tahu masih ada yang tungguin/baca gak cerita aku ಥ‿ಥ
Tolong bantu voment-nya yakk~
Love you bby~😘😘😘
Thank you~~ ^.^

HE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang