ELLEN
Aaah! Gue udah pusing tujuh keliling, tujuh turunan, sepuluh tikungan, ngajarin fisika ke ini duo human. Suerrr.Gimana coba, biar mereka itu pada ngerti. Apa gue harus nyari di google?
"Ih, El, gue gak ngerti..." rengek Kinan.
Pen gue tampol, deh."Hooh, gue juga kagak ngerti," sambung Lia sambil melihat-lihat kukunya yang, sebenarnya kinclong, gak ada kutek buat dipandangi. Ck.
Gue menghela nafas untuk kesekian kalinya. Udahlah, gue udah puyeng.
Gue menatap mereka datar bak aspal berlobang. Eh, berarti kagak datar dong?"Yaudah deh, ngertinya lain hari aja," ucap gue sembari menutup buku paket dan buku tulis yang ada di meja panjang depan gue, mereka pun melakukan hal yang sama.
Malah, tuh dua muka langsung bercahaya kek di iklan-iklan TV. Kalau dibilang udahan belajar aja ya, beh cepetnya kalahin tukang becak. Kan, gak mungkin ngalahin Rossi.
Kami bertiga sedang duduk-duduk cantik di taman yang, hm... lumayan ramai oleh anak-anak yang lagi main bola kaki di lapangan. Lapangannya, sih, gak besar-besar amat.
"Walau kau menghapus, mengganti diriku, menghempas cintakuu..." nyanyi Kinan tiba-tiba yang nyaris mirip miper—Mimi Peri.
"Menghempas dulu, baru mengganti!" seru gue dan Lia barengan.
"Eh, gue salah, ya?" tanya Kinan polos. Pen gue jitak, deh.
"Iya, Kinan sayang..." ucap Lia greget.
"Li, ada tombak kagak?" tanya gue.
"Buat apa, El? Lo mau bunuh orang?" tanya Kinan kaget.
"Iya!"
"Siapa?" bisiknya.
"Lo!" jawab gue sama Lia yang seketika langsung membuat Kinan bungkam seribu bahasa.
Abis, jadi manusia lemotnya udah pake remote. Malah remote nya rusak, lagi. BTW, gak nyambung ye, gue. Hehehe, biasa efek kelamaan jomblo.
Duh, tuh kan, tuh kan. Ada yang nge-chat aja gitu, udah di cuekin guenya. Emang deh, terkadang jones—jomblo ngenes— itu apes. Udah ngenes, apes lagi. Lengkap sudah.
Udah ah, bodo. Daripada gue meratapi nasib jomblo gue, mending gue liat-liat sekeliling. Siapa tahu bisa cuci mata, sekalian melatih otot mata, ya kan?
Gue melihat anak-anak sedang bermain bola dengan semangat. Gemes banget, Tuhan. Kayaknya tuh bocah-bocah sekitar lima sampai tujuh tahunan mungkin.
Dan... Itu Theo? Ngapain tuh cowok kemari? Heran gue, kok gue sering banget gitu, ketemu dia. Bukan berarti jodoh loh, ya. Amit-amit.
Theo baru saja turun dari motornya dan langsung pergi ke lapangan, tempat dimana anak-anak bermain bola. Penasaran, gue.
Semua mata anak-anak seketika tertuju oleh Theo saat dirinya menginjakkan kakinya di lapangan dan sorak-sorai langsung menguap. Loh, mereka pada saling kenal? Keliatan akrab banget.
Setelah Theo berbincang—yang gue gak tahu sama sekali mereka bicarain apa— dengan anak-anak itu, lalu mereka bermain bola kaki bersama.
Gue, gue gak salah liat kan, ya? Mata gue gak lagi nonton film animasinya Theo kan, ya? Sumpah, gue gak percaya dia mau maen sama anak kecil.
Kalian pasti JARANG kan, liat seorang COGAN, mau maen bola sama segerombolan anak-anak. Dia SENDIRI yang orang dewasa, loh.
Gila, parah. Gak tahu, deh, mau deskripsiinnya gimana. Pokoknya, ini tuh pemandangan yang super duper langkah, banget. Bahkan, gue yang idup dari belum ada film FROZEN sampe udah ada trailer film FROZEN II, belom pernah liat pemandangan kek gini. Kalian juga, kan? Iya, kan?—guenya sotoy bat.
Theo terlihat senang bermain dengan anak-anak tersebut. Ia tak peduli dengan orang-orang yang menganggapnya kekanak-kanakan. Baginya, ini adalah kebahagiaannya tersendiri.
Kalian bisa bayangin gak, sih? Betapa cerahnya wajah mereka semua. Betapa tampannya wajah Theo saat tertawa. Sungguh ciptaan Tuhan yang indah...
Loh, barusan gue muji Theo? Yaudah deh, gak jadi. Sifatnya Theo yang di sini sama yang di sekolah beda 360°, udah bukan 180° lagi.
"Woi, El," panggil Lia.
............
"Woi, Ellen!!"
"Ha? Kenapa?" tanya gue setelah keluar dari lamunan.
"Lo denger gak, sih?" tanya Lia kesal.
"Denger apaan?" tanya gue balik.
"Ihh, lo mah, gitu. Lo liatin apa, sih, dari tadi?"
Karena kesel gue kacangin, Lia mengikuti arah pandang gue dengan air muka yang udah kek gorila lagi cari mangsa.
"Lo... liatin Theo?! Lo demen ama dia?!" seru Lia senang saat melihat Theo di lapangan.
"Ya kagaklah!! Gila, lo?!"
"Cieee, Ellen suka sama Theo. Ciee..." ledek Kinan.
Kinan malah ikut-ikutan, lagi.
"Nggak, astaga..." elak gue sekali lagi.
"Udah, ngaku aja, sih. Mumpung dianya masih sendiri," goda Lia.
"Serah, deh. Serah."
Gak tahulah, mereka pada berasumsi sendiri. Jadi males, kan, guenya. Huh!
"Iya, iya, nggak. Lo gak suka sama Theo," ucap Lia akhirnya yang melihat gue ngambek.
"Theo itu vitamin, ya?" tanya Kinan tiba-tiba.
"Vitamin?" tanya kami barengan.
"Iya, vitamin. Vitamin mata,"
"Yee.. gak usah pindah haluan, lo." Lia mendorong kepalanya yang sama sekali tidak salah.
"Theo bukannya anak basket, ya?" tanya gue. Kok, main bola kaki, ya?
"Iya, ya. Dia kok main bola kaki?" heran Kinan.
"Mungkin dia suka sama bocah?" ucap Lia.
Oke, dari kejadian hari ini, dapat gue simpulkan, bahwa Theo suka sama anak-anak. Entah kenapa, fakta itu buat hati gue adem.
Dan... gue akui, Theo emang tampan. Mungkin sangat tampan? Tapi, semoga tidak hanya luarnya saja yang terlihat bagus, semoga dalamnya juga.
Eh, tapi bukan berarti gue suka sama, tuh, anak, ya.
—HE—
Annyeong yeorobun~
Ini salah satu sifat tersembunyi dari Theo, nih! 😆😆
Seperti sebelumnya, ini masih basa-basi. Nanti, di chap selanjutnya, akan ada yang belum kalian ketahui, lohh! 😌😌😌
So, don't leave my story, okay?😉
Semoga suka yaa bagian delapan nya~
Sorry kalo typo🙇🙇
Tolong bantu voment-nya yakk~
Love you all~😘😘😘
Thank you~~ ^.^
![](https://img.wattpad.com/cover/172586141-288-k51572.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HE
Teen FictionUntuk apa sebuah hubungan bila tak disertai kepercayaan? Mestinya setiap hubungan harus ada kepercayaan bukan? Untuk apa sebuah keputusan bila tak ada kepastian? Tentu akan merasakan gelisah di setiap jalannya. Hal yang selalu tak pernah diduga sus...