I wish I could be a better me, for you.
THEO
Sudah satu menit yang lalu sejak bel pulang sekolah terdengar. Anak-anak sedang ramai-ramainya keluar kelas menuju gerbang. Suara tawa, bincang orang, teriak, bahkan siulan terdengar jelas di penjuru sekolah.Matahari sepertinya sedang bersahabat dengan manusia. Sinarnya tak terasa begitu menyengat kulit. Padahal jam masih menunjukkan pukul 15:32.
Gue dan Ellen sedang jalan beriringan menuruni anak tangga. Gak banyak yang kami obrolin hari ini, sesekali gue mencoba menghibur suasana hati doi. Gue belum nanya kenapa dia pagi tadi, kayak timing-nya belum tepat aja.
Gue merangkul pundaknya mendekatkan Ellen ke gue. Gue hanya senyum saat dia menoleh ke gue.
5 menit kemudian kami sudah sampai di parkiran, tempat gue memarkirkan motor. Banyak murid yang baru saja mengeluarkan motor mereka dari barisan berjejer. Parkiran sepeda, motor, dan mobil berbeda tempat.
Gue segera menyerahkan helm milik Ellen dan gue sendiri juga memakai helm satunya lagi. Seperti murid lain yang membawa motor, gue pun mengeluarkan motor dari barisan berjejer, dan menaikinya yang disusul oleh Ellen.
Setelah menghidupkan mesin motor, gue menoleh ke belakang. "Mau ke mana gak?" tanya gue dengan sedikit berseru agar terdengar di balik helm dan bisingnya suasana.
"Mau es krim!" jawabnya cepat dengan berseru pula. Mood dia pasti balik nih, kalo ada es krim, haha. Gue menganggukkan kepala paham harus kemana.
Suara derum motor halus terdengar dari motor gue saat menambahkan gas, keluar dar gerbang menuju Indomaret yang paling dekat dengan rumah Ellen agar es krim tidak keburu cair saat sudah sampai ke rumahnya. Kami lebih banyak diam ketimbang berbicara selama di atas motor.
Beberapa menit berlalu, gue memberhentikan motor dan langsung turun setelah orang yang di jok belakang turun. Gak lupa melepaskan helm dari kepala, kemudian segera melangkah masuk. Yang datang ke sini semua pake seragam sekolah—termasuk kami berdua, ya walaupun yang dateng gak banyak.
Gak banyak bacot, gue dan Ellen berjalan ke tempat pendingin es krim tanpa jalan ke sana-sini lagi. Gue menoleh ke orang samping gue yang ekspresinya udah berubah senang. "Yeay! " serunya tertahan.
"Boleh dua gak?" tanya Ellen saat satu bungkus es krim sudah berada di tangannya. Ia melihat ke gue lebih tinggi beberapa senti dengan tatapan "ya-boleh-ya".
"Ambil tiga," jawab gue.
Seketika wajahnya sumringah demi mendengar jawaban gue. "Aah, makasiih," ucapnya disertai gerakan kecupan palsu di pipi kiri gue, jemari yang disatukan membentuk seperti kerucut.
Kalo gue gak bisa tahan, udah gue peluk di tempat umum gini, anjir. Gemes banget jadi cewek gue. Makin sayang, hehe.
Tak ada yang kami lakukan lagi selain melakukan transaksi, lalu keluar dari sana. Pakai helm, naik motor, gas ke rumah El.
Seperti biasa, gue memarkirkan motor ke halaman rumahnya. Kalo di bagasi ribet, dikata gue mau nginep apa, haha. Ya kali kan, bisa ditendang gue sama bokap doi. Terus gak diretuin, mampus dah gue.
Gue sedang duduk di teras rumah Ellen sendiri, iya sendiri. Ellen lagi tarok es krim di dalem kulkas biar gak cair.
Gak lama, ia keluar dari balik pintu utama rumahnya, menghampiri gue dari belakang dan duduk di samping gue, masih dengan seragam sekolah. "Nih!" ujarnya seraya menyerahkan sebungkus es krim yang tadi dibeli.
Gue menoleh ke arahnya dan mengambil es krim itu. Gue gak ada alasan buat nolak. "Kenapa kasih aku?" tanya gue sambil membuka bungkusannya yang juga dilakukan oleh Ellen.
"Yaa, kan kamu yang beli," jawabnya enteng. Pinter dia, jawabnya. Pacar siapa sih? Ya, gue lah.
Gue terkekeh kemudian mulai melahap es krim rasa vanila. Ellen pun demikian. Oke, ini waktu yang tepat buat gue tanya.
"Ellen," panggil gue dahulu.
"Hm?"
"Jadi, kamu kenapa hari ini, sayang?"
"...."
Belum ada tanggapan atas pertanyaan gue. Oke, mungkin dia gak mau cerita. Gak pa-pa sih, gue gak maksa juga.
"Theo," panggilnya.
"Iya."
"... Ada yang kamu rahasiakan gak dari aku?" Gue berpikir sejenak.
Rahasia? Kenapa Ellen mendadak nanya begitu? Kalo tentang masa lalu, itu bukan rahasia dan gue terlalu muak untuk ceritain. Kalo tentang Evelyn... gue gak bisa cerita itu. Gue udah janji.
"Gak ada, sih. Kenapa?"
Saat itu juga, gue melihat raut muka Ellen sedikit berubah, gak bisa gue artiin ekspresinya. Susah ditebak, seperti kecewa, heran, entahlah. Lantas dia mengangguk paham dan kembali terdiam mengulum es krim.
Ya, sekarang gue gak tahu haru ngapain liat dia diem-diem aja. Gue merasa bersalah, anjay. Tapi, mau gimana? Gue gak bisa bilang tentang Evelyn. Itu sama aja gue bocor. Bangsat.
"El, maaf ya," aku gak bisa jujur, ucap gue melanjutkan kata berikutnya dalam hati.
"Kenapa minta maaf?"
"Aku minta maaf kalo aku ada salah."
Ellen menggelengkan kepala dan berkata, "Kamu gak salah, kok."
Mata kami berdua saling bertatapan beberapa detik. Hening, gak ada satu kata pun yang terselip. Hingga akhirnya, gue membawa dia ke dekapan gue. Memeluknya erat.
"Aku selalu percaya apa yang mulut kamu ucap," kata Ellen pelan setelah membalas pelukan gue.
"Thanks. "
Kicau burung terdengar samar sekali jauh di sana. Tidak banyak terdengar tentunya, tak ada hewan yang betah terbang di udara Jakarta yang penuh polusi ini. Lebih dominan terdengar ingar bingar aktivitas di jalan besar yang untung tak dekat jaraknya dari sini.
Gue menenggelamkan wajah di pundak perempuan yang gue sayang ini. Iya, gue sayang banget. Gue gak mau melepaskan sesosok yang telah membuat hari-hari gue bagaikan padang bunga mekar di setiap kuncupnya. Setiap hari gue merasa lebih hidup dengan adanya dia di samping gue.
Akan gue jaga dia dengan baik. Sebisa mungkin gak akan gue buat dia terluka. Walaupun gue masih bimbang atas apa yang gue lakuin ini benar apa salah.
Tapi, yang gue tahu pasti, gue gak mau kehilangan lo, El.
— H E —
Annyeong yeorobun~
Semoga suka ya bagian tiga puluh dua~
Sorry kalo typo🙇🙇
Omaigad, aku deadline hehe 👉👈
Last day of 2020 omg! I wish 2021 can be better! ❤
Tolong bantu voment-nya yakk~
Love you bby~😘😘😘
Thank you~~ ^.^
KAMU SEDANG MEMBACA
HE
Teen FictionUntuk apa sebuah hubungan bila tak disertai kepercayaan? Mestinya setiap hubungan harus ada kepercayaan bukan? Untuk apa sebuah keputusan bila tak ada kepastian? Tentu akan merasakan gelisah di setiap jalannya. Hal yang selalu tak pernah diduga sus...