ELLEN
Gue menutup pintu mobil milik Steve. Yap, seperti di SMS kemaren. Malming ini gue jalan sama nih anak. Gila, panas amat nih cuaca.Awalnya gue kaget ada mobil di depan rumah gue. Trus gue keingat SMS Steve kemaren. Jadinya sekarang gue lagi di dalam mobilnya, deh.
"Lo cantik," puji Steve di kursi kemudi yang lagi liatin gue. Padahal pakaian yang gue pake b aja loh. Gak berlebihan.
"Ha? Oh, thanks. Lo juga," kata gue. Salting gue, tiba-tiba dipuji kayak gitu.
"Gue cantik?" tanyanya mengangkat sebelah alis. Ih, pengen gue tampol deh, gemes sih.
"Hm.. maksud gue, lo keren, gitu," koreksi gue dan gue seketika mematung saat dia tertawa kecil setelah mendengar omongan gue. Oh God, satu kata buat dia, manis.
"Lo lucu, deh. Jadi, kita mau kemana nih?"
"Gimana kalo nonton? Udah lama gue gak nonton, nih."
"Oke," setuju Steve, kemudian menjalankan mobil miliknya.
—HE—
"Lo mau nonton film apa nih?" tanya Steve yang lagi melihat film yang akan ditayang.
"Gue mau yang ini deh," kata gue menunjuk salah satu film horor. Gue suka nonton film horor soalnya.
"Lo serius? Itu horor loh," tanyanya memastikan. Gue pun menganggukkan kepala.
Steve sudah membayar tiket dan popcorn yang tadi dibelinya. Tadi gue sempat mau bayar tiket gue, kan gak enak tuh, gue yang nonton, dia yang bayar. Tapi, dianya nolak, jadi yaudah deh dia yang bayar.
Gue sengaja beli yang tinggal beberapa menit lagi ditayang. Trus tadi tuh hoki gue, ada film horor yang udah mau ditayang. Biasa, anak baik.
"Lo gak takut?" tanya Steve yang berada di samping gue. Ini filmnya udah sekitar 30 menitan gitulah.
"Takut," jawab gue. Iya sih gue takut, cuma ya, gue gak mau kasih liat aja. Itu hantu juga bukan hantu, ye gak?
Emang lo pada kirain bisa ada scene kayak gue meluk dia gitu, karena gue takut? Itu mah, bukan gue. Mungkin itu terjadi kalo misal gue keliat mantan gue, biar mantan gue cemburu. Tapi mantan gue bukan cuma si Niko Kampret loh, ya.
Ah, besok hari Minggu, ya? Kenapa cepat banget, sih. Oke, ini bukan waktunya bersedih.
"El, makan yuk," ajak Steve. Sekarang kami lagi di luar bioskop. Baru selesai nonton, filmnya lumayan seru, sih.
"Hm... Boleh deh," kata gue. Pas banget nih, perut gue udah bunyi alarmnya.
"Lo mau makan apa?"
"Apa aja, deh. Yang penting bisa dimakan."
"Gimana kalo sushi aja?"
"Oke."
Kami mencari restoran sushi dan menemukan resto yang dekat dengan penjual waffle.
"Eh, Steve, tahu gak, waffle yang di sono enak, loh," kata gue setelah kami duduk di tempat yang sudah tersedia di resto itu.
"Oh ya? Lo sering beli?" tanya Steve.
"Cuma pernah beli sekali, sih. Hehehe."
"Kalo gitu ntar beli yuk."
"Pasti!" seru gue didampingi dengan cengiran bego.
Steve kenapa liatin gue terus sih? Sambil senyum-senyum gila, pula. Malah manis, lagi.
"Kenapa?" tanya gue bingung.
"Selama dua minggu gue perhatiin lo, lo orangnya asik ya," pujinya.
"Emang menurut lo, gue orangnya gimana?" tanya gue penasaran tingkat biasa.
"Ya.. gue kira lo orangnya gak bisa santai gitu. Soalnya tiap lo ketemu sama sohib gue tuh, kayak ketemu copet."
"Sohib lo? Theo?"
"Yap."
Makanan dan minuman yang dipesan tadi pun datang. Gak terlalu banyak orang, sih. Mungkin pas malam baru banyak manusia.
"Btw, lo kenapa ngajak gue jalan?" tanya gue yang lagi mengunyah sushi.
"Pengen aja. Kenapa?" tanyanya
"Gapapa, kepo aja," jawab gue.
"El, ini enak loh. Nih, cobain," katanya seraya memberi satu potong sushi miliknya dengan sumpit ke piring gue.
Gak tunggu lama, gue langsung nyobain tuh sushi. Udangnya enak banget.
"Hm... Enak. Nih, cobain punya gue juga," ucap gue melakukan hal yang sama. Dia pun mencobanya.
"Enak juga ini. Makanan di sini enak-enak." Gue mengiyakan pendapat Steve dengan anggukan.
—HE—
"Mbak, rasa coklat pisang dua, ya," kata gue ke penjual waffle.
Setelah menunggu beberapa menit, pesanan kami pun jadi.
"Berapa, Mbak?" tanya gue.
"30 ribu," kata mbaknya.
"Gue aja yang bayar," tawar Steve, lalu mengeluarkan sebuah dompet kulit.
"Gak, gue yang bayar. Lo kan udah traktir banyak, gantian gue," kata gue.
Ya guenya gak enaklah dibayarin mulu, walau seneng sih ditraktir, hehehe. Lo pada, juga seneng kan ditraktir. Hayoo, ngaku...
Gue pun membayar waffle tadi. Hmm... wangi banget. Gue juga belom pernah coba yang rasa ini.
"Jangan cuma dihirup doang, dimakan dong," kata Steve menyadarkan gue yang ketagihan sama aromanya, kalo rasanya nanti.
Gue memberikan kekehan kecil dan mulai memakan waffle. Nah, ini baru ketagihan sama rasanya.
Kami pun keliling-keliling mall sambil melihat-lihat keramaian yang ada... Loh, kok jadi nyanyi, sih.
Tau-tau hampir malem aja, nih. Hampir jam enam gitulah. Harus pulang, nih.
Gue pengen bilang kalo gue udah mau pulang, tapi gak enak juga. Kan, dia yang bawa mobil, dia yang tentuin kan pulangnya kapan.
"Kenapa? Udah mau pulang?" tanya Steve di sebelah gue yang menyadari ketidaknyamanan gue.
Duh, peka banget, sih. Gue kan jadi salting. Tapi idaman juga, ya? Ya, gak? Ya,gak? Daripada nunggu doi peka kayak nunggu ayam melahirkan.
"Eh, iya. Soalnya udah hampir malem, hehehe," jujur gue.
"Ya udah, yuk." Gue hanya menganggukkan kepala.
"Btw, lo belom punya pacar kan?" tanyanya tiba-tiba.
"Udah putus," jawab gue. Kini, giliran dia yang menganggukkan kepala.
—HE—
Kami pulang dengan membicarakan beberapa topik di mobil. Orangnya supel. Gak kayak sohibnya, ngajak tempur mulu.
Kami pun sampai di depan rumah gue jam 18.35 WIB, jalanan macet, bro.
"Steve, thanks ya, buat hari ini," ucap gue sebelum keluar dari mobilnya. Ya kali, gak ngomong apa-apa. Bisa dibilang cewek gak tahu diri, gue.
Steve menganggukkan kepalanya sembari memberi senyuman.
"Kalo gitu, gue masuk rumah dulu, ya," pamit gue.
"Iya."
Gue keluar dan menutup pintu mobilnya. Tak lupa gue melambaikan tangan sebelum ia melajukan mobilnya.
Jujur, gue rada canggung sama Steve.
—HE—
Annyeong yeorobun~
Semoga suka yaa bagian empat nya~
Sorry kalo typo🙇🙇
Ini baru basa-basi doang, jadi jangan meninggalkan lapak dulu ya~😅😅
Tolong bantu voment-nya yakk~
Love you all~😘😘😘
Thank you~~ ^.^
![](https://img.wattpad.com/cover/172586141-288-k51572.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HE
Teen FictionUntuk apa sebuah hubungan bila tak disertai kepercayaan? Mestinya setiap hubungan harus ada kepercayaan bukan? Untuk apa sebuah keputusan bila tak ada kepastian? Tentu akan merasakan gelisah di setiap jalannya. Hal yang selalu tak pernah diduga sus...