Tiga Puluh Tiga

25 4 7
                                    

I know he's cute, but he's mine.

AUTHOR
Rintik-rintik hujan semakin deras, turun dengan cepat. Angin kencang dengan mudahnya menggoyangkan tanaman-tanaman yang tumbuh subur. Langit yang kemarin cerah diganti mendung hari ini.

Pagi ini hujan lebat. Ellen yang sudah bersiap-siap sejak beberapa menit lalu menghembuskan napas melihat cuaca yang kurang mendukungnya untuk berangkat ke sekolah. Ia sudah menyuruh Theo untuk tidak menjemputnya karena ia akan pergi ke sekolah dengan Jason dan diantar oleh papa dengan mobil. Sebenarnya sih, Theo sudah pasti ke sekolah membawa mobil, tapi ia tidak mau merepotkan doi, lebih baik sekalian barengan dengan Jason.

"Udah siap, Ellen?" tanya Andhika yang di balik punggungnya berdiri anak keduanya.

"Udah, Pa. Tinggal berangkat," jawab Ellen mempererat jaket dan topinya.

Andhika menganggukkan kepala dan melangkah menuju bagasi mobil yang telah dibuka oleh Pak Toni-satpam rumah-dari tadi. Ellen beserta Jason pun ikut menyusul masuk ke dalam mobil. Tak lama, mobil yang dikendarai melesat jauh membelah derasnya rintik hujan.

Mereka berangkat lebih cepat ketimbang biasanya, menghindari kemungkinan buruk akan macetnya jalanan yang tak berujung. Sepertinya Ellen menikmati setiap butiran hujan. Dengan earphone yang sudah terpasang tepat, menatap lamat-lamat ke luar jendela dari kursi tengah mobil. Sementara adik dan ayahnya duduk di kursi depan.

"Ada yang bermasalah sama kegiatan sekolah kalian?" Andhika membuka topik percakapan.

"Gak ada, Pa." Mereka berdua menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sama.

"Bagus. Kalo ada kasih tahu Papa, ya." Mereka lantas menganggukkan kepala paham.

"Oh ya, kemaren di sana katanya ada terjadi kecelakaan, Pa?" tanya Jason menunjuk ke arah pukul satu.

"Iya, kalo tidak salah yang kecelakaan kira-kira seumuran kalian, gara-gara mabuk. Jaman sekarang, kalo salah pergaulan emang bahaya," ucap Andhika menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.

"Kalian jangan sampai salah pergaulan. Memang kita tidak boleh memilih-milih dalam berteman, tapi setidaknya kita harus memilah mana yang baik dan tidak. Mana yang harus diikuti jejaknya dan yang kita hindari," lanjutnya.

Sepertinya Jason salah menentukan topik. Ayahnya sudah pernah menasehati mereka akan itu. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Wajar saja, karena setiap orang tua pasti mempunyai kekhawatiran masing-masing.

Tapi, itu tak berlangsung lama karena Jason kembali mengalihkan trending topic mereka. Sesekali Ellen hanya memperhatikan kedua orang itu berbincang dan sesekali ikut nimbrung.

Beberapa menit berlalu, mobil mereka pun akhirnya berhenti di samping gerbang sekolah yang sedang ramai oleh anak murid.

Andhika sempat menawarkan payung agar tidak terkena air hujan, tapi ditolak oleh kedua anaknya. Mereka lebih memilih berlindung di balik jaket tebalnya. Lantas turun dari mobil dan dengan cepat masuk ke area sekolah setelah berpamitan. Ellen dan adiknya berjalan ke arah yang berbeda.

Masih setia dengan earphone yang dikenakannya, Ellen sesekali bersenandung kecil tanpa menghentikan langkah kakinya. Mengeluarkan sebungkus permen, membuka, dan memasukkan ke dalam mulut. Membalas sapaan kepada orang yang dikenalnya sudah menjadi kebiasaan.

Raut wajah cerah itu begitu bersemangat menjalani hari ini, bibir yang terkadang membentuk sebuah lengkungan natural. Hingga sesuatu mengganggu pandangannya di seberang sana, langkah Ellen terhenti, ia terkesiap. Pergerakan lidahnya seketika terasa membeku, rasa permen yang ada di mulut pun seperti tak ada rasa lagi. Alunan musik yang sedari tadi diikutinya tenggelam bersamaan dengan suara-suara di sekitar.

Theo bersama Evelyn lagi, lagi, dan lagi. Theo sedang memayungi dirinya dan gadis di sebelahnya, lantas berhenti di pinggir kelas dekat tangga.

Ellen sudah berkali-kali mendapati mereka berdua tanpa mereka sadari, tidak hanya sekali atau dua kali. Bagaimana perasaan kalian jika menjadi dirinya? Sakit? Ya, tentu saja. Tapi, ia tetap bertahan, bodoh sekali.

Theo selalu berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi tidak dengan Ellen, ia tidak baik-baik saja. Apa ini akibat jika terlalu percaya seseorang?

"Ellen!" seru Steve dari arah belakang menghampiri orang yang dipanggilnya.

Sesampainya di sebelah Ellen, ia terlihat ngos-ngosan kemudian berkata, "Gue kira gue udah telat, ternyata belum, hehe."

Tidak ada komentar apa pun dari gadis itu. Ya, ia masih terdiam tak berkata, panas memperhatikan kedua manusia yang sedang berjalan santai di seberang sana. Bisa-bisanya Theo tidak mencari keberadaannya. Karena tak ada tanggapan, Steve menoleh ke sebelahnya dan menyadari Ellen sedang mengamati sesuatu. Segera ia mengikuti arah pandangnya, langsung saja ia tahu apa yang menyita perhatian temannya sejak tadi. Itu tak seharusnya untuk dilihat terus-terusan.

Cowok itu dengan cepat menggenggam tangan kanan Ellen dan membawanya pergi berlari ke suatu tempat. Ellen yang kaget terburu-buru menyeimbangi langkah lari Steve jika tak ingin tersandung jatuh memalukan. Steve yang masih menggenggam tangannya menuntun ia melewati hadapan Theo-Evelyn dan tentu saja Ellen tidak mau menoleh ke arah mereka.

Tak begitu jauh, mereka akhirnya berhenti di sebuah ruangan, Usaha Kesehatan Sekolah. Napas Ellen patah-patah sehabis berlari walaupun tak terlalu cepat, tapi tetap saja ia tak punya napas sepanjang Steve.

"Kenapa lo bawa gue ke sini? Gue gak sakit. Lagian bentar lagi juga udah mau masuk," kata Ellen kesal setelah napasnya sudah lebih beraturan.

Steve hanya menatap cewek yang terlihat lucu dimatanya. Lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana, melihat jam. "Santai masih 15 menit lagi." Ia menunjukkan ponselnya agar percaya.

Ellen melihat sekilas dan memalingkan wajahnya. Apa ia berangkat terlalu pagi?

"Awalnya gue mau bawa lo ke gazebo yang di depan perpus, tapi gak mungkin karna masih hujan," ucap Steve melihat ke luar pintu. Titik-titik air dari awan gelap masih dengan lancar melakukan aktivitasnya.

"Gue tahu lo pasti marah liat Theo yang belakangan ini. Jujur, bahkan gue yang temen paling dekatnya aja gak tahu kenapa dia bisa kayak gitu. Dia gak akan pernah dua-in lo, El. Dia gak sebejat itu. Tapi, gue gagal paham sekarang. Waktu gue tanya ke dia, selalu aja gak mau kasih tahu gue. Emang kampret si Theo," omel Steve yang malah ikutan kesal.

Ellen mendecak, "Gue gak tahu harus gimana."

Cowok yang bersandar di dinding UKS itu tidak tega melihat cewek di hadapannya disakiti terus. "Gue bakal ngomong sama Theo. Lo jangan sedih lagi."

Ellen tadinya merenung kini tersenyum simpul. "Makasih ya, Steve. Lo selalu baik sama gue," ujar Ellen tulus. "Meskipun kadang nyebelin, haha."

"Yee... eloo. Mau muji apa mau jelekin gue, lo," kata Steve ikut tertawa.

"Dua-duanya dong."

Di menit-menit terakhir sebelum masuk ke kelas, mereka habiskan dengan bercanda ria. Steve memang teman yang bisa diandalkan.

- H E -

Annyeong yeorobun~
Semoga suka ya bagian tiga puluh tiga~
Sorry kalo typo🙇🙇
Ini cerita kenapa makin ga jelas lontong ಥ‿ಥ maapkan huhu
Tolong bantu voment-nya yakk~
Love you bby~😘😘😘
Thank you~~ ^.^

HE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang