It's not me who has changed, but the situation has.
ELLEN
Shit! Gue kira setelah kemarin, semua bakal baik-baik lagi. Ternyata gue salah, gue salah besar, anjing!Sepanjang hari ini di sekolah gue gak ngajak Theo ngomong dan dia pun melakukan hal yang sama. Gue gak tahu alasannya kenapa. Bukankah seharusnya dia jelasin tingkahnya tadi pagi? Bahkan gak cuma tadi pagi, istirahat pun si Anak Baru masih ngintilin. Like what the heck?!
Kenapa dia diem, gak kasih penjelasan apa pun? Kan lo masih pacar gue.
Gak, gue gak deket-deket dia hari ini, gue cuma lihat dari jauh. Temen gue udah kesel banget dan temen Theo juga pada bingung—ternyata mereka pun gak tahu apa-apa.
Yo, lu sebenarnya anggap gue apa sih? Lo campakin gue? Lo punya kepribadian ganda? Atau lo mainin gue?
Please, I want your answer of those questions now!
Mendadak ada sebuah tangan laki-laki yang menepuk pelan pundak gue. Gue segera menoleh dan menemukan Theo-lah yang melakukan hal itu.
Deg!
Napasnya terlihat tak beraturan, kayaknya dia abis lari. Sejenak kami saling menatap beberapa detik, matanya tampak lelah. Gue lihatnya jadi gak tega, help.
Theo mendekat beberapa senti, tangannya mulai bergerak ke balik punggung gue. Ah iya, jaket gue ternyata ketinggalan. Dipakaikannya jaket yang berwarna merah muda lis putih itu ke gue dengan lembut. Oh, bukan dipakaikan, hanya ditempelkan di bahu saja.
Entah dorongan dari mana asalnya, emosi gue mendadak meninggi dan pecah di tempat. Gue dengan cepat memberhentikan tangannya, lalu melepaskan dengan hentakan. Menatap tajam matanya yang terlihat kurang tidur. Gue udah gak tahan.
"Lo kenapa sih, Yo?!" tanya gue dengan amarah yang tertahankan sedari tadi.
Sepertinya, dia tahu maksud dari pertanyaan gue. Theo menggeleng kepala lemah, "Gue gak pa-pa, Ellen."
"Lo berubah semenjak ada anak baru itu. Sebentar lo mendekat, sebentar lo menjauh. Lo mau campakin gue?" Hati gue rasanya disayat perlahan dengan pasti oleh mata pisau yang begitu tajam. Mata gue mulai berair saat mengucapkan kalimat terakhir itu.
"Aku gak pernah sekali pun ada niatan buat campakin kamu."
"Terus?"
"..."
Oke, gak ada jawaban seperti biasanya. Gue percuma tanya kayak gini. Buang-buang waktu gue.
Air mata gue menetes tanpa diminta. Dengan cepat gue memalingkan muka ke arah lain saat Theo bermaksud menghapus air mata ini dengan jemarinya.
Masih memalingkan muka darinya gue berkata dengan nada yang mulai meninggi, "See?! Lo gak mau cerita ke gue! Yo, lo gak percaya gue? Hm..?
"Tiap kali gue tanya, selalu jawaban lo 'gak pa-pa'. Gue tahu Yo, lo gak bakal gini kalo gak ada apa-apa... Kita ini apa sih? Gue capek, Yo." ucap gue menatapnya sayu.
"Ellen—"
"Let's break up, I can't be like this anymore, please." Gue segera memotong ucapannya sebelum berubah pikiran. Gue sudah memutuskan.
Sekilas gue melihat ada ekspresi kaget sesaat dan kemudian ia menundukkan kepala. Di saat itu, gue sudah setengah membalikkan badan sembari menahan jaket yang masih gue menempel agar tidak terjatuh.
Iya, dia hanya membiarkan gue begitu saja. Tidak ada adegan mengejar apalagi menghentikan langkah kaki gue dan meminta hal yang gue lontarkan tadi tidak terjadi. Sudahlah, semua telah usai.
—HE—
Bulan sabit tergantung di langit malam yang cerah dengan posisi menyerupai sebuah senyuman jika dikaitkan dua buah mata di atasnya. Tidak ada bintang-bintang yang menemani di sana, hanya gumpalan awan melatar belakangi bulan itu.
Sepi, tidak ada yang dilakukan. Gak ada Ellen yang setiap malam selalu mengerjakan soal-soal untuk dua hari ini, skip dulu, gak mood. Mata gue juga udah lelah ngeluarin air mata, kering dan sembap yang tersisa.
Kayak tanaman layu gue sekarang. Gimana gak layu, coba? The relationship has broken but i still couldn't hold this feelin, it's sucks.
Gue menghembuskan napas panjang. Oh, gini rasanya patah hati, kosong. Dipaksa senyum aja susah ini muka, bawaannya datar mulu. Iyaaa, otak gue sekarang flashback semua isinya.
Hah... Kenapa Theo setega itu ke gue? Gue salah apa sampe-sampe dia kayak gitu di belakang gue..? Emang iya, cowok itu gak bisa cuma milikin satu cewek, harus lebih.
"BUAYA BANGSAT!!!" teriak gue tiba-tiba, tanpa disadari mengagetkan Jason yang kamarnya terletak di depan kamar gue.
Tok tok tok
Ceklek
"Lu kenapa?!" tanya Jason yang seketika sudah masuk ke kamar gue. Mukanya panik.
"E-eh, g-gue gak pa-pa haha," jawab gue berusaha menyembunyikan suara bideng abis nangis.
"Busetttt, ini gak salah kamar lo begini?" Iya, kamar gue sekarang udah kayak kandang ayam, amburadul.
"Salah, ini bukan kamar gue. Makanya pergi gak lo?! Hus!" usir gue yang gak mau ditatap dengan tatapan kayak gitu saat ini. Gue cuma mau sendiri.
"Iya deh, iya. Tapi, lu beneran gak ada masalah?" Ia masih bertanya khawatir melihat kondisi gue yang sudah tergolong mengenaskan.
"Gak adaaa, Jason," ucap gue greget dengannya. Wah, Indonesia Idol pasti nyesel gak kenal sama gue liat akting yang super duper gini. Eh iya, Indonesia Idol kan nyanyi, ege.
Ia berdiam diri sebentar lantas menutup pintu kamar dari luar tanpa berkutik. Gue menghembuskan napas dan menatap kosong pintu berwarna putih tulang yang sempurna tertutup. Melirik jam digital yang baru menunjukkan pukul 08:41 malam, hadeh anjir baru jam segini. Gue harus apa ya sekarang? Asli dah, gak ada mood samsek buat—
Brakk
Jason datang terbirit-birit dengan membanting pintu kamar gue. Gue yang masih duduk di dekat balkon sontak terkejut dan terheran-heran. Thank God, gue gak ada penyakit jantung. Kaget banget gue, anjing.
"Lo gak bisa pelan-pelan apa?! Kalo pintu gue rusak, lo yang benerin ye," ucap gue dongkol.
"Hehe, ya maap atuh." Jason terkekeh tanpa dosa lalu menyerahkan dua batang cokelat putih yang masih tersegel rapi. "Nih, mau gak? Ya udah, kalo gak mau mah buat gue aja."
Dih, si Bocah, belum juga gue jawab. "HEH, JASON! Gue belum jawab, Kampret. Gue mauuu, iih." Gue buru-buru menghampiri dan mengambil cokelat di tangannya.
"Makasih, adek gue yang ganteng utututu," ujar gue mengerucutkan bibir seperti ingin mencium.
Jason mengedikkan bahu horor bak melihat setan. "Hih, udah ah, gue mau ke bawah dulu," katanya lantas melengos pergi dari hadapan gue.
"Okay, thanks broo!" Gue menutup pintu kamar dengan ulas senyum terpampang jelas tak bisa disembunyikan. Menatap kedua bungkus cokelat penuh makna, makasih udah bikin mood gue balik.
Ketika menengadahkan kepala, gue membelalakkan mata melihat seisi kamar yang sangat berantakan. Kasur yang sepreinya tersibak setengah, selimut di atas lantai, bantal-guling ke mana-mana, tisu bekas ingus berhamburan, dan lainnya yang tidak pada tempatnya. "Ini serius kamar gue?!"
—HE—
Annyeong yeorobun~
Semoga suka ya bagian tiga puluh empat~
Sorry kalo typo🙇🙇
AAAA UDAH LAMA BANGET YA LORD 😭🙏 huhu kangennn wkwk. Ini pen aku kelarin cepet cepet iihh, gregett
Tolong bantu voment-nya yakk~
Love you bby~😘😘😘
Thank you~~ ^.^
KAMU SEDANG MEMBACA
HE
Teen FictionUntuk apa sebuah hubungan bila tak disertai kepercayaan? Mestinya setiap hubungan harus ada kepercayaan bukan? Untuk apa sebuah keputusan bila tak ada kepastian? Tentu akan merasakan gelisah di setiap jalannya. Hal yang selalu tak pernah diduga sus...