💕MYD #1

19.5K 938 62
                                    

_Afsheen_

"Pasti Dito di marahin sama Abi ya Bund?"

"Enggak Kak! Suudzon ih sama Abi sendiri!"

Aku bergelayut manja di lengan Bunda, aku sengaja bermanja-manja pada Bunda di hari-hari terakhirku sebelum pindah ke Jogja.

Setelah aku lulus MA beberapa minggu yang lalu, alhamdulillah aku diterima di salah satu universitas ternama Jogja. Itu artinya selama kurang lebih 4 tahun kedepan, aku akan lebih banyak menghabiskan waktu di Jogja. Sesuai arahan Abi dan Bunda, selama kuliah di Jogja aku akan melanjutkan ngaji di pesantren milik saudara Bunda- Tante Ulfa namanya, suaminya juga Rizky seperti nama Abiku.

Sebenarnya bukan masalah besar aku harus tinggal jauh dari keluarga karena selama ini sudah terbiasa hidup mandiri di Pesantren tapi karena ada satu hal yang membutku sedikit kecewa.

Apalagi kalau bukan tentang Dito. Sahabat terbaikku ini tidak jadi kuliah di Jogja. Rasanya gimana ya? Sulit buat dijabarin, sejak kecil aku selalu bareng sama Dito. Dia sangat berartti bagiku, walaupun hanya lebih tua 6 bulan dariku tapi pola pikirnya sudah jauh lebih dewasa dibanding denganku.

Terkadang dia bisa menjadi sahabat yang selalu mendengarkan keluh kesahku, bisa menjadi kakak yang selalu menjaga aku, bisa menjadi adik juga kalau pikirannya sedang sumpek.

Dia bisa tegas melebihi Abi juga bisa lembut melebihi Bunda, pada intinya terlalu banyak hal baik yang bisa diceritakan tentang Dito. Kalau di tanya apa aku cinta sama dia? Jawabanya aku tidak tahu, aku belum pernah merasakan jatuh cinta itu seperti apa yang aku rasakan pada Dito adalah aku ingin terus menjadi sahabatnya, ingin terus dekat dengannya karena selama ada Dito aku tidak pernah bisa melihat laki-laki lain seperti aku melihat Dito.

Mungkin terlalu dini jika mau membahas cinta, aku masih baru aja lulus MA dan perjalananku masih panjang. Seperti yang selalu Dito katakan padaku, perjalanan kita masih panjang, mungkin saat ini kita harus meraih cita-cita dengan jalan masing-masing, di kehidupan mendatang aku berharap tetap bisa menjadi bagian dalam hidup Dito.

"Terus kenapa Dito gak jadi kuliah di Jogja?"

"Bukannya Dito udah jawab kalau dia gak lolos?"

"Iya Bund, ya sudahlah. Titip Dito ya Bund, takutnya dijutekin terus sama Abi."

Bunda tertawa lepas sambil mengusap rambutku. "Abi kamu itu walaupun suka ketus gitu sama Dito tapi jauh di dalam hatinya sangat menyayangi Dito."

"Iya sih Bund! Sean tau kok, tapi ya tetap saja kalau udah ada mereka berdua dalam satu ruang pasti jadi heboh." Jawabku sambil tersenyum geli mengingat betapa konyolnya Abi saat geregetan sama Dito.

"Dari kecil emang Abi dan Bunda itu udah anggap Dito seperti anak kandung sendiri Nak! Bunda malah selalu nangis kalau lihat Dito pas kecil, kasihan anak sekecil itu udah harus yatim piatu."

Aku ikut terharu jika mengingat kisah tentang Dito. Kata Bunda, ibunya meninggal pas habis melahirkan dia dan ketika Dito umur 4 tahun ayahnya juga meninggal karena sakit jantung. Dan sejak saat itu dia dekat dengan keluargaku karena rumahnya hanya berseberangan dengan rumah Abi. Dito sering sekali ikut acara keluargaku, diam-diam dia sangat mengidolakan Abi. Katanya dia mendapatkan figur seorang ayah dari Abi.

"Bunda mau kemana?" Tanyaku saat bunda beranjak dari tempat tidurku.

"Bunda lupa tadi mau nganter makanan ke rumah Dito, mau nganterin?"

"Siap Bund, biar Sean aja."

Bunda hanya menggelengkan kepalanya melihat aku yang langsung semangat, dengan cepat aku memakai jilbab instanku, berkaca sekilas lalu segera mengikuti Bunda.

"Semangat banget yang mau ketemu Dito!"

"Ah Bunda, biasa aja!"

Bunda malah semakin gencar menggodaku. "Bunda jadi pengen nyanyi deh Kak!"

"Nyanyi apa Bund?"

Bunda yang berdiri di samping meja langsung menyanyi.

"Bukannya aku tak tahu..!"

Seketika aku langsung ngakak banget lihat Bundaku, subhanallah bunda emang gak ada duanya.

Selesai menggodak Bunda memberikanku dua kotak makanan yang berisi gudeg khas Jogja, tadi pagi saat mengantarkan barang-barangku ke Jogja, kami sempatkan mampir sebentar untuk kulineran.

"Assalamualaikum.." 

Aku sedikit melongok ke dalam karena pintu rumah Dito terbuka tapi tidak ada jawaban.

"Waalaikumussalam.." Akhirnya setelah beberapa saat, Simbah kakung keluar.

"Lagi pada dimana Mbah kok sepi?"

"Simbah putrimu lagi sholat terus Dito tadi entah kemana mungkin tidur."

Aku mengangguk lalu masuk dan meletakkan gudeg yang kubawa ke dapur. 

"Apa itu Nduk? Kok baunya enak."

"Gudeg Mbah, tadi dari Jogja nganter barang-barang Sean. Simbah kerso dahar?"

"Nanti saja, nunggu simbah putri ya!"

"Inggih Mbah, kalau gitu Sean langsung pulang ya Mbah!"

"Loh gak nungguin Dito bangun?"

"Keburu lebaran Mbah, nunggu Dito bangun!"

Simbah Malik hanya tertawa sambil menepuk puncak kepalaku, semua orang di sini juga hafal kalau Dito itu tidurnya mirip orang pingsan.

Saat aku melewati ruang tengah aku berpapasan dengan simbah putri yang masih menggunakan mukenanya. Beliau mengajakku duduk sebentar.

"Buru-buru Nduk?"

"Enggak Mbah, cuma sean belum mandi. hehe."

"Temani simbah dulu, sebentar lagi kamu kan mau pergi ke Jogja."

Aku sedikit menyender pada bahu Simbah, aku dan Dito memang sangat dekat dengan keluarga masing-masing.

Oh iya, aku mau bilang kalau aku juga kagum banget samba simbah Malik kakung putri ini. Beliau berdua masih sangat terlihat bugar bahkan wajahnya jauh lebih muda dari umurnya. Aku jadi penasaran banget dulu secantik apa ibunya Dito.  Kalau lihat simbah berdua ini dan wajah Dito sekarang, pasti ibu dan ayahnya Dito sangat cantik dan ganteng.

"Hati-hati di Jogja ya Nduk! Wah simbah kesepian lagi ini."

"Iya Mbah, nanti kan ada Alea ada Alfa juga kalau pas pulang dari pesantren. Nah satu lagi, ada Alea pasti bonus si Rey, Mbah!"

Simbah putri tertawa sebelum menjawabku. "Anak-anak itu pinter banget, Simbah juga suka kalau ada mereka jadi gak sepi.  Apalagi si anaknya Nazril itu,  gak pernah kehabisan tingkah!"

"emang itu Mbah, kata Abi sih duplikat bapaknya."

"Hahah, iya bener nduk! Jadi kangen simbah sama om kamu itu. Udah lama gak main kesini."

"Nanti Sean sampein Mbah."

Tiba-tiba Simbah menegakkan duduknya, mau tidak mau aku ikut duduk. Simbah memegang tanganku.

"Kenapa Mbah?" Tanyaku khawatir karena Simbah menangis.

"Terimakasih ya Nduk, kamu dan keluarga kamu baik banget sama keluarga Simbah terutama Dito. Simbah gak tau gimana jadinya kalau tidak ada Syifa dan Rizky yang membantu Simbah merawat Dito sejak kecil.  Dito, cucu simbah yang malang, sejak kecil sudah tidak bisa merasakan kasih sayang orangtua, sedangkan kamu tahu sendiri Simbah juga sibuk mengurusi anak-anak yang ngaji di sini. Simbah selalu meminta maaf sekaligus berterimakasih sama Abi dan Bunda kamu karena dengan ikhlas membantu merawat Dito. Simbah juga sangat berterimakasih sama kamu nduk, karena kamu selama ini Dito jadi semangat."

Aku ikut menangis, apa sih yang simbah bicarakan? Malah aku yang selama ini berterimakasih pada beliau dan Dito yang selalu menjagaku. Cukup lama aku berpelukan dengan Simbah Putri sampai aku bisa melihat sesosok lelaki yang bersandar di ambang pintu. Tersenyum sambil bersedekap dan melihat ke arah kami.

Dialah Muhammad Anandito Malik.

6. Marry Your DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang