💕MYD #2

7.7K 834 77
                                    

"Allahu akbar...allahu akbar....allahuakbar
Laillahaillallahu wallahu akbar
Allahu akbar walillahilhamd.."

Aku masih khusuk mengikuti takbir yang berkumandang di speaker masjid sambil fokus membantu Tante Ralin yang tengah menyiapkan aneka makanan. Walaupun besok adalah hari raya idul adha, tetap disiapkan makanan layaknya seperti idul fitri. Lontong, opor ayam, rendang dan sebagainya.

Semua masakan ini hasil karya Tante cantikku-tante Ralin. Hebat banget, udah cantik, pinter masak lagi. Kesenengan banget itu Om-Om.

"Udah mateng Tante?" Tanyaku sambil ikut mengintip panci besar.

Tante Ralin tersenyum geli lalu menyenggol bahuku. "Lontong itu lama masaknya Sean! Nanti paling tengah malam matangnya!"

Aku meringis pelan, menyadari bahwa hubunganku dengan perdapuran memang tidak begitu baik. Bisa dikatakan musuh juga.

Ya maklumlah, selama ini aku besar di pesantren yang jarang banget ada acara masak-masak. Makanan sudah di sediakan dari pihak pesantren, tinggal makan doang.

"Tante kok pinter banget masak? Gimana belajarnya?"

"Mau tau?"

Aku mengangguk semangat, kata Bunda wanita itu harus bisa memasak.

"Yang pertama harus suka dulu, setelah pasti akan bisa dengan sendirinya."

"Sebenarnya Sean juga bisa masak tante!"

"Oh ya? Pernah masak apa?" Dari ekspresinya Tante Ralin sih bukannya kagum tapi ragu kalau aku bisa masak.

"Lumayan banyak tante, pernah masak soto, rendang, geprek, terus apalagi ya?" Aku mengingat-ingat.

"Bakso pernah, terus rawon juga! Banyak deh Tan!"

Tante Ralin menghentikan acara mengaduk rendangnya. "Itu namanya jago Sean! Tante gak nyangka loh kalau kamu pintar masak!"

"Iya Tan, pinter kan? Semua masakan itu Sean wujudin dalam bentuk mi instan!"

Tante Ralin yang baru sadar langsung terbahak dan menggetok pelan keningku dengan sendok yang baru saja dia ambil.

"Tante kira kamu beneran pernah masak semua itu, taunya cuma mi instan doang!"

"Haha, lumayan kan Tante! Daripada pengantin baru itu yang  masak mi instan aja gak bisa."

Tante Ralin mengerutkan keningnya. "Siapa?"

"Itu loh Yank, artis yang baru nikah. Beritanya heboh. Yang ileran aja pakai di umumin!" Sahut seseorang  yang baru saja masuk ke dapur.

Orang ini suhu bagiku, dalam hal pergosipan khususnya. Jiwa gosipnya beneran harus aku acungin jempol. Kalau abi biasanya hanya suka mantau berita politik atau kesehatan, lain hal sama omku ini, mau dari berita dalam sampai luar negeri, dari berbobot sampai yang ecek-ecek sekalipun dia pasti langsung nyambung.

"Ck! Kalian ini! Sukanya kepo sama gosip kaya gitu. Biarin lah itu hak mereka mau ngapain asal gak merugikan!"

"Sean itu, omnya udah mau tobat malah suka nge-tag di akun gosip. Jadinya kan susah!"

"Ye, si Om yang suka bilang ke Sean. Suruh kasih kabar kalau ada update terbaru tentang suatu gosip. Malah ini Tante, kemarin Si Om antusias banget ikutin berita--"

Aku mengurungkan niat cerita ke Tante Ralin karena Om Nazril udah membuat gerakan mengulek sambal dengan cobek kosong sambil melotot.

Aku meringis aja, untung Tante Ralin super baik.  Dia gak pernah kepo, jadi gak akan tau kalau Om Nazril sedang ngincer mobil bekas salah seorang artis ternama.

Mendengar suara sedikit berisik diluar, aku memilih meninggalkan Om dan Tante. Pandanganku sempat bertemu dengan Dito yang baru saja datang bareng Abi. Tadi sepertinya dia diajak Abi untuk mengambil hewan qurban untuk besok.

Dito hanya mengangkat sebelah alisnya ketika melewatiku. Anak ini emang kadang suka susah di tebak. Biasanya bisa ramai banget, tapi seringnya sih bersikap datar cenderung dingin sih! Pokoknya susah di tebak.

Bener kata Simbah Malik, Dito beneran mengidolakan Abi. Dia dapat figure seorang ayah dari Abi, makanya kelakuannya 11:12. Kenapa dulu gak aku kenalkan pada Om Syauqi aja ya? Baik dan lembut banget soalnya.

Jadi pengen kasih julukan kaya bunda juga yang ngasih nama sayang ke abi.

Aku mengambilkan minum untuk Abi dan Dito, meletakkan di depan mereka. Abi menepuk punggungku dan berterimaksih. Kalau Dito jangan tanya, hanya lirikan sekilas saja.

Untuk sayang, jadi aku hafal semua gesturnya. Lirik sekali untuk apa, lirik dua kali untuk apa. Senyum miring untuk apa, ngangkat alis untuk apa!

Haissh! Ampuni hamba Ya Allah. Sampai sedetil itu tau tentang Dito.

Ngomongin Dito itu gak ada habisnya, pria ini susah banget si tebak isi hatinya. Entah efek selalu bersama sejak kecil atau apa, tapi aku rasa aku memang menyukai Dito. Belakangan ini baru aku sadar bahwa memang perasaanku untuk Dito itu memang jenis perasaan wanita untuk lelaki.

Tapi sayangnya, Dito hanya menganggapku sebagai adiknya, dia sayang karena menganggap keluargaku adalah keluarganya juga.

Astaghfirullah...

Aku gak boleh terlalu larut dengan perasaan yang belum tepat ini.  Perjalananku masih jauh dari kata siap. Aku masih harus banyak ngaji dan lulus kuliah.

Ketika hati telah terpaut dan menuntut tapi waktu yang belum mengizinkan, maka jalan satu-satunya adalah dengan cara mendekatkan diri padi Sang Pemilik hati.

®®®®®

Pagi hari setelah selesai sholat ied, sebagian warga pesantren sudah bersiap menyembelih hewan qurban. Kali ini Alhamdulillah ada 4 ekor sapi dan 8 ekor kambing. Anak-anak Simbah Ahmad memang rutin berkurban di pesantren, shodaqoh untuk para santri dan mungkin juga di bagikan ke warga sekitar.

Kadang mereka dapat jatah dari masjid kampung sini, tapi ya namanya juga cuma jatah umum bukan khusus perorang jadinya sudah pasti tidak bisa rata. Maka dari itu, selama beberapa tahun terakhir keluarga kami memutuskan untuk berkurban di sini.

Santri-santri di bagi menjadi beberapa bagian, ada yang bertugas di penyembelihan, memotong daging, mencuci jeroan, memasak dan juga distribusi.

Pokoknya dari santri, oleh santri dan untuk santri.

Aku sendiri memilih membantu mengiris daging dengan beberapa santri putri, tapi saat ini masih santai-santai karena hewannya belum selesai dikuliti. Takbir selalu berkumandang mengiringi kegiatan yang insyaAllah berkah ini.

"Ada apa sih? Kok heboh banget?" Aku bertanya pada Dito yang baru selesai membantu memegang salah satu kambing untuk disembelih.

"Itu adik kamu!" Jawabnya singkat lalu berlalu dari hadapanku.

Melupakan Dito yang selalu bikin kesel dengan jawaban yang selalu singkat, padat dan jelas, aku memilih melihat kelakuan Reyshaka yang selalu aja mengundang kehebohan. Bocah itu sejak tadi kegirangan naik kambing dan gak mau turun, padahal kambingnya mau segera di sembelih. Kalau udah gitu hanya bapaknya yang bisa mengendalikan.

Aku baru mau beranjak menyusul Bunda kedalam, langkahku terhenti ketika Dito secara sengaja memakaikan pecinya ke kepalaku.

"Titip bentar, takut kecipratan darah kambing!" Ujarnya singkat lalu pergi dari hadapanku.

Aku hanya bisa menarik nafas sambil banyak beristighfar. Gimana mau gak jatuh cinta sama kamu sih Dit!

Keputusan kita untuk kuliah di kota yang berbeda sepertinya sudah sangat tepat.

6. Marry Your DaughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang