Jeno tidak tau apa yang membuatnya merasa sangat sial hari ini. Berawal dari dirinya lupa membawa revisian skripsi sehingga membuatnya harus memutar kemudinya kembali ke apartemen.
Dengan peluh yang bercucuran ia berlari dari basement ke lantai tiga dimana letak ruang dosennya berada. Ketika tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kaca, selembar sticky note berwarna kuning menyita perhatiannya. Umpatan kasar lagi-lagi keluar dari bibir Jeno.
Berjalan gontai ke arah bangku taman kampus berharap dapat mendinginkan kepala. Udara yang sejuk membuatnya dapat sedikit bernapas ringan. Sejak tadi organ pernapasannya dipaksa bekerja ekstra yang mana membuat kepalanya berdenyut.
Sudah hampir tiga bulan Jeno tidak menginjakan kakinya di taman kampus sebelah gedung fakultasnya. Kesibukan sebagai mahasiswa semester atas membuatnya tidak sempat datang kemari untuk beristirahat sejenak disaat kejaran revisi terus menghantuinya. Padahal menikmati udara segar serta pemandangan hijaunya pepohonan dapat membuat pikiran tenang, tapi bagi Jeno hal tersebut tidak membawa kenyamanan justru membawa sebuah memori lama yang sangat ingin dihilangkan dari otaknya.
“Tumben pak kesini.”
Tepukan di bahu membuat Jeno menoleh. Tersenyum tipis ketika Jisung duduk di sebelahnya, adik tingkat yang sudah Jeno anggap seperti adiknya sendiri.
“Lagi nunggu dosbing, beliau lagi ada panggilan ke rektorat.”
Jisung mengangguk, memikirkan seberapa berat mengerjakan tugas akhir membuat kakaknya ini terlihat lesu. Kantung mata samar terlihat di bawah mata Jeno serta pipinya yang terlihat lebih tirus dari terakhir kali dilihatnya.
“Skripsi ribet banget ya pak sampe kelihatan kaya zombie.”
Candaan Jisung membuat Jeno tertawa kecil. Sudah banyak orang yang mengomentari perubahan fisiknya tapi tak pernah diambil pusing. Toh yang penting dirinya sehat.
“Keliatan banget emang?”
Jari telunjuk Jisung terangkat untuk menunjuk tepat di bawah mata Jeno, “Kantong matanya gede banget, pak.”
Lagi-lagi perihal kantung mata. Ya, Jeno juga sering mengingatkan dirinya sendiri untuk tidur lebih awal agar area bawah matanya tidak menghitam tapi apa daya kebiasaannya tidur dini hari sulit untuk dihilangkan.
“Jangan ngegalau terus pak kalau malem.”
Perkataan Jisung lagi-lagi membuat Jeno terkekeh.
“Galauin siapa?”
“Gausah dijawab pun bapak pasti tau jawabannya.”
Jeno tersenyum, senyuman yang tidak dimengerti Jisung apa maksudnya.
Ia tau kisah cinta Jeno yang berakhir awal tahun ini. Disaat orang-orang menyalakan kembang api atau bergelung di dalam selimut sembari menghitung detik-detik pergantian tahun, Jeno justru bersitegang dengan kekasihnya yang mengakibatkan hubungannya yang sudah berjalan hampir dua tahun berada di ujung tanduk.
Keegoisan yang dijunjung tinggi keduanya ditambah kesibukan serta kurangnya komunikasi membuat segalanya makin kacau. Puncaknya adalah tanggal 31 Desember, malam yang harusnya berjalan manis ternyata berujung tangis.
Jeno yang sudah menyiapkan makan malam romantis di tengah kesibukannya harus rela menelan bulat-bulat kekecewaan kala sang kekasih datang sangat terlambat dari waktu yang telah disepakati. Lelah, marah dan kecewa mendidih di dalam kepala yang membuat mulutnya mengeluarkan kalimat-kalimat menusuk hati. Sang kekasih yang memberi pembelaan pun tak didengar sama sekali. Semua indera yang ada pada dirinya seakan tertutup rapat.
Satu kalimat. Satu kalimat yang membuat Jeno seketika jatuh ke dalam lubang gelap tanpa dasar.
Kling!
Satu pesan masuk ke dalam ponsel Jeno. Dengan segera tangannya merogoh saku jaketnya untuk mengambil benda persegi panjang tersebut.
Tanpa disadari Jisung sempat melihat layar ponsel Jeno yang masih dihiasi wajah manis sang mantan kekasih yang membuatnya terkekeh kecil.
Selesai membalas pesan, Jeno bingung melihat Jisung yang masih mengembangkan senyum.
“Kenapa senyam-senyum?”
“Susah move on ya sampe homescreen masih pake foto Kak Renjun.”
Jeno mematung mendengar perkataan Jisung. Namun sedetik kemudian menggelengkan kepalanya, “Belum sempet ganti.”
Nyenyenye, Jisung dalam hati.
Jisung sudah mengenal Jeno lebih dari empat tahun jadi dia tau kapan kakaknya ini berkata serius atau hanya sekedar menjawab hanya untuk memuaskan si penanya.
“Kalo emang belum move on gapapa kok pak.”
“Siapa yang belum move on?”
“Buktinya masih nyimpen fotonya. Masih belum move on kan?”
Jeno terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan Jisung. Ada perdebatan kecil dalam hatinya yang membuatnya bingung. Padahal jika dipikir secara logika jawaban dapat dengan mudah dilontarkan dalam sepersekian detik setelah Jisung selesai berbicara namun hatinya meminta untuk memikirkan kembali.
“Masih nyimpen foto bukan berarti belum move on.”
Jisung mendengus.
“Terserah bapak, gue mau ke kelas dulu. Bye!”
Jisung menepuk bahu Jeno sebagai salam perpisahan. Sepeninggal Jisung, Jeno merenungi pertanyaan adik tingkatnya itu. Selama ini dirinya berusaha menghindari hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu untuk memudahkan proses ‘move on’nya tapi malangnya dirinya sendiri pun tidak mendukung hal tersebut.
Kebiasaan kecil semasa mereka bersama dulu masih tertinggal dalam kehidupannya, termasuk ketika kadua kakinya yang membawanya ke tempat ini. Taman kampus adalah tempatnya dan sang mantan kekasih melarikan diri sejenak dari penatnya perkuliahan. Duduk diam selama sepuluh menit sambil memejamkan mata dapat membuat pikiran menjadi rileks.
“Tutup matamu lalu hitung satu sampai sepuluh perlahan, kemudian tarik napas sepelan mungkin dan hembuskan. Ulangi sampai kepalamu seringan kapas.”
Suara lembut itu masih dapat Jeno rasakan berputar di dalam pikirannya. Memberinya ketenangan. Perlahan matanya tertutup seakan mengikuti instruksi dari alam bawah sadarnya. Dalam hati, ia menghitung satu sampai sepuluh secara perlahan.
1…2….3….4…..
Bukannya ketenangan yang didapat justru bayangan wajah manis sang mantan kekasih. Gambaran seorang lelaki mungil yang sedang menatapnya dengan tawa ceria, menerbitkan sebuah kurva tipis di bibirnya.
“Renjun…” panggilnya lirih.
Setitik air mata menggenang di ujung matanya.
Selama ini Jeno mengatakan pada semua orang bahwa dirinya sudah tak mencintai sang mantan kekasih. Dengan harapan dapat mengikis sedikit demi rasa cinta yang masih tertinggal.
Karena apa yang dikatakan dapat mengubah jalan pikiran. Itu yang Jeno pegang hingga saat ini.
Namun di dasar hatinya…
Jeno masih mencintai si mungil kesayangannya. Hatinya merindukan wajah manis dengan senyuman secerah mentari pagi yang selalu menjadi pembuka harinya.
Karena Huang Renjun adalah hal terindah yang pernah Jeno miliki di dunia ini.
End.
Semoga dapet feelnya yaa><
First time banget bikin genre menye gini