Payung

5.2K 506 23
                                    

Sore itu langit masih betah mengeluarkan rintik-rintik air yang sering disebut sebagai hujan. Langit kelabu serta hawa dingin semakin menambah cepat langkah kaki orang-orang agar segera sampai ke rumahnya yang hangat dan nyaman. Namun sepertinya itu tidak berlaku bagi pemuda tampan dengan mantel hitam serta syal senada yang masih betah menatap orang-orang yang berlalu lalang menghindari rintik-rintik dari langit. Tak jarang suara kecipak air beradu dengan sepatu masuk ke dalam indera pendengarannya. Sesekali ia mengeratkan mantelnya guna menghalau dingin yang semakin lama semakin terasa menusuk tulang.

Pemuda itu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 03.45 pm yang artinya sudah hampir satu jam sejak ia keluar dari gedung kampus dan berdiam diri di tempat pemberhentian bus. Sebenarnya ia bisa saja pergi dari sana dengan menggunakan bus. Bahkan kalau tidak salah sudah ada sekitar enam bus yang berhenti di sana, namun sepertinya ia lebih memilih duduk di halte yang dingin daripada menggunakan bus untuk pulang.

Ponsel yang bergetar membuat atensi pemuda itu teralih dari jalanan menuju saku sebelah kanan mantelnya. Tak menunggu waktu lama ia segera mengambil benda persegi yang mengeluarkan bunyi serta getaran yang cukup keras itu. Seulas senyum muncul di wajahnya yang tampan saat melihat siapa yang meneleponnya.

Tak taukah pemuda itu bahwa senyumannya mampu membuat seorang gadis sekolah di sebelahnya memekik tertahan.

"Jangan kemana-mana, tetap disitu sampai aku datang ! Kau dengar Lee Jeno?"

Pip! Mati.

Tidak ada satu menit panggilan itu sudah dihentikan, bahkan pemuda tampan yang dipanggil Lee Jeno dalam panggilan itu belum sempat membuka mulutnya untuk menjawab.

Jeno kemudian menurunkan ponsel yang menempel di telinganya. Seulas senyum kembali terukir di wajah tampannya, namun kali ini lebih lebar dan menerbitkan sebuah garis lengkung bak bulan sabit di matanya.

Setelah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku mantel, Jeno kembali memerhatikan orang-orang yang semakin mempercepat langkah karena rintik-rintik hujan semakin besar dan banyak. Beberapa orang memilih singgah di beberapa tempat guna menghindari serangan hujan. Halte bus yang tadinya sepi, kini jadi penuh sesak karena orang-orang yang terus berdatangan untuk berlindung.

Jeno menjadi gelisah, hujan yang semakin deras membuatnya mengkhawatirkan sosok yang meminta dirinya untuk menggu.

Dilihatnya hujan yang semakin deras bahkan suara petir mulai terdengar. Jeno mengambil kembali ponselnya, berniat untuk menghubungi seseorang tadi, namun saat dering ketiga panggilannya ditolak. Dirinya menjadi semakin khawatir. Dalam hati ia merutuki dirinya yang lupa membawa payung, padahal sejak pagi langit sudah memberinya peringatan bahwa hari ini hujan akan turun.

Apakah yang harus ia lakukan?

Apakah ia harus menerjang hujan?

Saat Jeno akan beranjak dari tempatnya duduk, ia teringat akan kertas-kertas penting yang ada di dalam tasnya. Tidak mungkin ia menerjang hujan yang beresiko kertas-kertas itu menjadi basah. Akhirnya Jeno memilih untuk mendudukan dirinya lagi sembari menunggu hujan sedikit mereda sekaligus berdoa agar seseorang itu baik-baik saja.

Sepertinya hujan memberi kesempatan bagi orang-orang untuk segera tiba di rumah. Jeno mendongakan kepala guna melihat langit yang sedikit lebih cerah, tidak segelap tadi. Sedikit demi sedikit orang yang memadati halte bus sudah mulai meninggalkannya. Jeno sedikit dapat bernapas lega.

Ia kembali mengecek ponselnya, namun tidak ada pemberitahuan yang berarti.

Dari jauh Jeno melihat seorang pemuda mungil dengan hoodie biru muda beserta payung sewarna rumput dalam genggaman tangan kananya. Pemuda mungil itu berjalan ke arah halte bus yang Jeno tempati dengan sesekali menghindari genangan air yang berpotensi membuat sepatu putih yang dikenakannya basah. Jeno tersenyum melihat pemuda mungil itu yang jaraknya semakin dekat dengan dirinya.

Kebiasaan Jeno ◆ NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang