Renjun uring-uringan sejak pulang kuliah. Nomor sang kekasih tidak bisa dihubungi, bahkan pesan yang dikirim tadi pagi pun hanya dijawab seadanya. Hal tersebut jelas membuat Renjun khawatir.
Dia sudah menghubungi beberapa teman kekasihnya untuk menanyakan kabar dan syukurlah kekasihnya itu masih berangkat kuliah seperti biasa. Berarti kekasihnya itu sehat karena masih bisa menghadiri kelas.
Tapi Renjun belum sepenuhnya lega. Selepas jam makan siang dia kembali menghubungi nomor yang sudah dihapalnya luar kepala, namun hanya suara operator yang menjawab. Pesan pun tidak dibalas sama sekali.
Renjun bingung harus apa.
"Halo? Kak, tau gak Jeno kemana?"
Tanpa sadar Renjun memainkan kuku jarinya, kebiasaan saat dirinya sedang panik.
"Bukannya dia pulang? Tadi sehabis rapat BEM dia langsung pulang."
Renjun menghebuskan nafas lega, "Oke kak. Makasih banyak."
"Sama-sama, Jeno gak hubungin kamu? Kalian berantem?" suara di seberang terdengar khawatir.
"Emm.. Kami baik-baik aja kak, tapi dari pagi dia susah dihubungi. Aku khawatir dia kenapa-napa."
Hening sebentar.
"Kamu gak coba ke apartemennya?"
Sebenarnya sejak tadi Renjun memikirkan hal itu, tapi dirinya ragu.
"Memangnya gapapa kak? Aku takut ganggu dia." Cicit Renjun.
"Gapapa Renjun. Coba kamu datang ke apartemen buat cek keadaannya. Siapa tau dia sebenernya butuh kamu tapi dia gak bilang secara langsung. Paham kan maksud kakak?"
Renjun mengangguk, walaupun percuma karena Doyoung tidak bisa melihatnya.
"Aku paham kak. Makasih sarannya."
"Sama-sama. Yasudah ya kakak tutup."
"Baik kak."
Pip. Panggilan selesai. Renjun mendudukan dirinya di kasur. Meresapi kata-kata kakak tingkatnya yang sudah seperti kakaknya sendiri.
Jeno –kekasihnya adalah tipe orang yang lebih sering memikirkan orang lain dari pada dirinya sendiri. Pemuda dengan senyum menawan itu sangat sulit ketika diajak untuk mengungkapkan isi hatinya. Jeno selalu berkata baik-baik saja di depan semua orang termasuk dirinya, kekasihnya sendiri.
Hal itu membuat Renjun merasa dirinya bukan kekasih yang baik karena dia tidak tau apa yang sedang Jeno tibun di hatinya dalam diam. Tapi dia juga menghargai keputusan Jeno. Tidak mungkin juga ia mendesak Jeno untuk berbicara ketika kekasihnya itu tidak ingin. Jadi yang bisa Renjun lakukan adalah memberikan kenyamanan bagi Jeno setidaknya bisa sedikit meringankan beban di hatinya. Dan jika waktunya tepat mungkin Jeno akan bercerita padanya.
Melihat jam yang ada di pergelangan tangan kirinya membuat Renjun bergegas ke dapur untuk membuat makanan kesukaan Jeno karena jam makan malam akan segera tiba.
Pukul tujuh lewat dua puluh lima Renjun sudah berada di depan pintu apartemen Jeno. Dirinya tidak langsung menekan sandi seperti biasanya, jemarinya terangkat untuk memencet tombol bel pintu.
Beberapa detik setelahnya pintu terbuka dan menampakan sosok tinggi dengan hoodie hitam serta kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya.
"Renjun?"
Yang disebut namanya hanya tersenyum sambil menunjukan kotak bekal yang dibawanya dalam totebag putih.
Langsung saja sang pemilik apartemen membukakan pintu lebar dan menggandengnya masuk.