Renjun melihatnya, sedang duduk di salah satu bangku taman dekat kolam ikan.
Hoddie putih dengan garis hitam adalah salah satu outfit kesayangan pemuda itu. Serta kaca mata baca yang dulu –mungkin sampai detik ini selalu berhasil membuatnya jatuh bertengger manis di hidung mancungnya. Tidak ada yang berubah, masih sama seperti dulu.
Semuanya masih sama, yang berbeda hanyalah keadaan mereka sekarang.
Walaupun dipisahkan oleh jarak sejauh sepuluh meter Renjun masih dapat melihat wajah tampan yang pipinya menirus. Matanya pun sayu, seperti tak ada binar di dalamnya.
Sedih?
Tentu saja. Renjun sedih melihatnya seperti ini. Bukan ini yang Renjun harapkan setelah perpisahan itu terjadi.
Matanya mengerjap ketika Jisung tiba-tiba menatap ke arahnya. Adik tingkatnya itu tersenyum tipis sembari menganggukan kepala.
Syukurlah Jeno tidak menyadari keberadaannya. Dalam hati ada rasa syukur karena Jeno ternyata tidak sendiri, masih ada Jisung yang selalu menemaninya.
Senyumnya terukir melihat Jeno tengah tertawa karena candaan Jisung. Tawanya yang khas dapat telinganya tangkap walaupun samar.
Terima kasih Jisung karena sudah membuatnya tertawa.
Renjun bertanya pada dirinya senidi; Apakah ia dapat tertawa seperti itu juga?
Setengah tahun ke belakang ia berusaha mengobati dirinya sendiri dari luka masa lalu. Mencoba melupakan kejadian-kejadian yang selalu mencoba masuk ke dalam kepalanya setiap malam.
Menghindari segala macam hal yang selalu mengingatkannya dengan masa lalu. Namun sialnya setiap sudut kota ini menyimpan kenangan ketika mereka masih bersama.
Terkadang Renjun bertanya-tanya, apakah dia masih memikirkannya…
Apakah dia masih mengingat kenangan-kenangan indah di masa lalu…
Atau… hanya dirinya saja yang demikian?
Ponselnya berdering, nama ‘Jaemin’ tertera di sana. Jemarinya langsung bergerak untuk menekan tombol hijau. Untuk sesaat pandangannya ia alihkan pada objek lain supaya dapat fokus pada panggilannya. Kepalanya sesekali mengangguk mendengar penjelasan Jaemin. Setelah panggilannya setesai, Renjun menyimpan kembali ponselnya.
Ketika pandangannya hendak menuju pada objek yang sama, dirinya dikejutkan oleh sepasang obsidian kelam yang tengah menatapnya lamat.
Tubuhnya kaku, tangannya yang memegang ujung jaket mengerat.
Dadanya sesak, rasa rindu yang ditahan selama ini seketika meledak.
Air matanya menetes.
Jeno… jangan menatapku.
Padahal setelah malam itu Renjun berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis lagi.
Tapi hari ini dia mengingkari janjinya sendiri.
End.
Kalo kemaren dari side nya Jeno sekarang dari side nya Renjun
Galau gak? Kok aku galau ya waktu ngetik....
Semoga suka~
See you next chapter~