Masih ingat beberapa waktu lalu ketika Jeno tiba-tiba sakit di kampus? Kejadian itu menjadi perlajaran tersendiri bagi Jeno untuk jangan menyepelekan kesehatan. Sejak saat itu setiap hari Renjun selalu bertanya pada Jeno apakah sudah makan atau belum. Bukan berarti sebelumnya Renjun tidak pernah menanyakan hal tersebut pada Jeno tapi lebih kepada mengecek apakah kekasihnya yang sibuk itu sudah menyentuh makanan atau belum.
Kesibukan mereka membuat intensitas mengirim pesan sedikit menurun. Mereka berkirim pesan hanya ketika pagi sebelum memulai aktivitas dan malam hari sekaligus ucapan selamat tidur. Mungkin kadang di siang hari ketika ada hal dadakan yang harus dilakukan (mereka sudah mengetahui jadwal masing-masing). Jadinya tidak perlu setiap saat mengirim pesan.
Hari ini Jeno ada agenda rapat bulanan seperti biasa setelah jam terakhir perkuliahan. Dirinya baru saja menghabiskan satu buah burger dan kentang goreng sebagai makan siangnya hari ini. Walaupun jam sudah menunjukan pukul empat sore tapi tidak apa-apa yang penting perutnya terisi.
Beberapa anggota sudah memasuki ruangan, hanya tersisa sang bendahara yang sepertinya akan terlambat hadir karena jam keluar kelas sedikit ngaret.
"Lama banget keluar kelasnya." Haechan menyenggol lengan Felix yang baru saja duduk di bangku sebelahnya. Pemuda dengan rambut blonde itu sedikit terengah sambil membuka buku catatannya.
"Biasa, Prof. Kim kalo ngajar gak inget waktu."
Haechan manggut-manggut kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Jeno. "Mulai sekarang aja Jen biar gak kemaleman selesainya."
Ketika Jeno akan berdiri Felix menahan kemejanya, "Renjun sakit, dia ada di apart lo soalnya dia gak kuat nyetir balik ke apartnya. Dia tadi dianter Yangyang, lo gak usah khawatir fokus aja ke rapat biar cepet selesai itu pesen Renjun."
Mendengar rentetan kalimat Felix membuat ekspresi Jeno berubah, jelas ada gurat cemas disana namun pesan Renjun membuat dirinya ingin bergegas memulai rapat supaya cepat selesai. Pikirannya bercabang tapi Jeno mencoba fokus.
"Thanks Lix." Ucap Jeno yang hanya dijawab oleh acungan jempol.
Kurang lebih satu setengah jam rapat yang dipimpin Jeno sudah selesai. Peserta rapat langsung meninggalkan ruangan karena langit sudah berubah menjadi gelap. Jeno, Haechan dan Felix menjadi yang terakhir keluar karena harus membereskan ruangan.
"Oh iya Jen, tadi Renjun ngechat kalo lo balik suruh bawain sandwich dia yg biasa. Gue gak paham yang biasa kaya apa jadi harusnya lo ngerti."
Jeno mengangguk, "Ada lagi?" tanyanya. Felix menggeleng, "Udah sana lo buruan balik biar ini gue sama Haechan yang beresin. Kasian Renjun sendirian."
"Iya Jen sana buruan susulin. Ini tinggal matiin proyektor doang." Haechan menambahkan. Dia merebut kertas yang dipegang Jeno kemudian mendorong lelaki itu keluar ruangan. Tak membuang waktu Jeno langsung bergegas ke parkiran untuk mengambil mobilnya. Sebelum pulang ke apartemen ia membelikan pesanan Renjun beserta obat.
Keadaan apartemen ketika Jeno masuk adalah gelap. Tidak gelap gulita tapi lampu ruang tamu dalam keadaan mati. Langkahnya dibuat pelan supaya Renjun tidak terganggu (apabila ia sedang tertidur). Dibukanya pintu kamarnya perlahan, disana terlihat Renjun tengah bersandar di kepala ranjang sambil tangannya mengusap perutnya sendiri di balik selimut. Ekspresi wajahnya seperti menahan sakit karena kedua alisnya mengerut.
"Sayang?" panggil Jeno. Renjun yang tengah terpejam membuka matanya lalu tersenyum kecil.
"Jen..." suaranya terdengar parau.
Plastik berisi obat dan makanan diletakan di meja dekat pintu kemudian berjalan ke arah kasur. Jeno duduk di samping Renjun, tangannya terulur mengusap rambut serta kening Renjun yang terasa sedikit hangat.