Story

388 83 4
                                    

Setelah di tinggalkan oleh Wendy begitu saja di hutan yang gelap, Jevan pun segera menyusul gadis itu. Bukan takut hantu atau apa, hanya saja baginya berbahaya jika Wendy berjalan sendirian walaupun gadis itu sudah pasti tau rute yang benar menuju rumahnya.

Berjalan sekitar lima menit akhirnya mereka berdua sampai di rumah Wendy. Gadis itu tiba-tiba berhenti tepat di halaman rumahnya dan menatap Jevan dengan raut wajah kesalnya. Jevan merasa heran mengapa gadis itu selalu saja terlihat kesal padanya, padahal beberapa hari yang lalu Wendy meminta maaf bahkan mereka berciuman dengan mesra di dalam mobil, apa yang salah dengan gadis itu. Pikir Jevan.

"Kenapa?" Tanya Jevan yang kini berdiri di depannya dengan tatapan lembut. Tidak acuh seperti dulu.

"Apa yang lo omongin ke Ibun, semuanya itu serius?"

"Apa gue keliatan lagi becanda tadi. Oh my god please, gue ga akan nangis kaya gitu kalo gue cuma akting. Oke, gue emang ga bisa di percaya, tukang bohong, pengecut, whaterver, tapi sebejat-bejatnya gue," Jevan mengambil kedua tangan Wendy dan menggenggamnya erat. Melangkahkan kakinya dan mengikis jarak di antara mereka, "gue ga akan permainin perasaan orangtua apalagi orangnya yang baik kaya Bunda lo."

Wendy tertegun dengan kata-kata tidak terduga dari Jevan, ia dapat melihat jelas keseriusan dalam tatap lelaki itu. Entah kenapa Jevan terlihat tampan dan lembut membuat pipi Wendy rasanya bersemu merah. Bagaimana bisa lelaki yang kemarin tidak berperasaan sekarang malah terlihat seperti lelaki yang penuh kasih sayang dan penuh perhatian.

"Eh-ehem ... Kita masuk aja, gue dingin di sini," Wendy melepaskan genggamannya dan berniat masum ke dalam rumah, tetapi Jevan lebih bergerak cepat menarik tangan gadis itu dan membawa Wendy ke dalam dekapannya.

"Katanya dingin, mending pelukan gini kan, lebih efisien."

Wendy membelalakan matanya, gadis itu tidak menyangka akan terjadi adegan romantis bak drama-drama yang ia tonton. Tubuh mungilnya kini berada mantap dalam pelukan seorang Jevan, kepalanya bersandar tepat pada dada bidang milik lelaki itu Wendy bahkan dapat mendengar dengan jelas detak jantung Jevan, hangatnya pelukan lelaki bersurai kecoklatan itu. Begitu asing namun menenangkan.

"Le-lepas, nanti Ibun liat," ucap Wendy tergagap namun tubuhnya sama sekali tidak mencoba untuk bekerja sama dengan otaknya, dalam hati Wendy menyukai pelukan itu tapi kepalanya menolak keras, ia belum siap, mentalnya belum siap.

"Gue dingin."

"Yaudah masuk, di dalem ada perapian ada selimut juga."

"Gue maunya lo."

"...."

"I love you."

"...."

Tidak ada jawaban, gadis itu masih enggan membalas pernyataan Jevan. Wendy masih belum bisa percaya dan memberikan hatinya kepada lelaki sejenis Jevan.

"Oke, oke kalo belom bisa jawab," Jevan melepaskan pelukannya, menatap gadis itu dan menangkup pipi chubby milik gadis mungil itu, "Gue bakalan berusaha bikin lo bales pernyataan gue," aksi selanjutnya Jevan mengusak rambut Wendy dan pergi ke dalam rumah begitu saja. Sialan, kenapa ninggalin gue setelah bikin hati gue porak poranda. Batin Wendy.

*****


"Gimana? Udah punya cara bikin adekmu pulang?" Tanya wanita tua itu kepada anak sulungnya. Di waktu makan malampun masih saja perkara itu yang di bahasnya membuat Jean jengkel setengah mati.

"Udah aku usahakan Mi, mungkin Jevan akan pulang sekitar minggu depan," jawab Jean yang kini telah kehilangan nafsu makannya.

Wanita tua itu menaruh alat makannya dan menajamkan sorot matanya, "setelah dia pulang nanti, Mami akan suruh dia cepat-cepat menikah dengan Eriska. Udah saatnya anak itu berhenti main-main," tegasnya.

Grace, memang entah apa alasannya, cenderung terobsesi dengan putra bungsunya itu. Sejak kecil Grace menaruh banyak harapan kepada Jevan dan memperlakukan lelaki itu seperti mainannya. Jevan yang sejak kecil selalu murung dan kesepian karna apapun yang ia lakukan adalah apa yang ibunya inginkan membuatnya menjadi seorang pembangkang ketika sudah dewasa.

Grace yang kecewa karna putra kecilnya kini tidak lagi menurut, membuatnya semakin terobsesi dan menjadikan Eriska, gadis yang mempunyai tekad dan obsesi yang sama dengannya terhadap Jevan sebagai rantai agar dirinya dan Jevan tetap terhubung. Dan jika Jevan pergi terlalu jauh maka Grace akan menarik rantai itu.

Akhir-akhir ini Grace merasa putranya itu menjadi sangat sulit di hubungi apalagi di temui, rasanya membuat kepala wanita tua itu akan pecah.

"Kalo itu yang terbaik buat Jevan, aku pasti bantu wujudin apa mau Mami," Jean kini tersenyum kecut, sudah pasti anak tidak berguna itu akan membawa masalah pada jabatannya di perusahaan jika sampai Grace benar-benar menikahkan putranya dengan wanita penggila harta itu.

Jevan akan di rantai selamanya dalam keluarga membuat perasaan Jean sangat terganggu. Ia tidak ingin adiknya itu terlihat lebih baik dari dirinya di mata sang ibu.

Lebih baik tetep kaya gitu, lebih baik tetep ga pulang, lebih baik tetep jadi ga berguna, anak sialan. Batin Jean.


*****

"Nginep aja Nak, udah malem. Kamar tamu kosong kok," ucap Olivia dengan sorot mata yang hangat.

"Ah ga enak Tante."

"Panggil aja Ibun kaya Wendy mulai sekarang. Kan kamu calon menantu Ibun," kata-kata Olivia membuat Jevan maupun Wendy kikuk. Bagaimana bisa wanita itu menggoda anak muda yang tengah kasmaran itu secara terang-terangan.

"Oh, si-siap Bun," Jevan tergagap karna gugup, sedangkan Wendy hanya tertunduk tak kuasa melihat ke arah Jevan maupun ibunya.

"Tapi kayanya, Wendy ga bakalan suka kalo aku nginep," sindir Jevan membuat gadis yang di sebut namanya itu mendongak.

"Gue ga sejahat itu kali. Lo nginep aja, udah malem jalanan di sini rawan begal kalo malem," tutur Wendy yang segera pergi ke kamarnya setelah mengatakan hal yang tidak biasa itu.

Jevan yang mendengar kata-kata ajaib dari Wendy tidak dapat menahan senyumnya. Imut banget dia, batin Jevan sambil menggaruk tengkuknya.

"Ayo, Nak, Ibun anter ke kamar," ucap Olivia mengaburkan aura bahagia Jevan. Lelaki itu segera mengikuti langkah wanita itu ke kamar yang di maksud.

Kamar berinterior serba coklat, lampu yang tidak terlalu terang, tempat tidur berukuran sedang, jendela yang tertutup tirai pemandangan kamar yang unik membuat Jevan ternganga.

"Nak, nanti di lemari itu ada piyama sama handuk, kamu kalo mau mandi tinggal nyalain air panasnya karna dingin banget di sini. Boleh pake baju tidurnya juga yah," lagi-lagi Olivia berbicara dengan nada yang lembut.

"Siap Bun, makasih buat perhatiannya," Jevan tersenyum hangat, membuat Olivia mengelus pipi Jevan untuk beberapa detik.

"Ibun seneng banget liat kamu ceria kaya gini," tuturnya membuat hati Jevan tersentuh. Sungguh perhatian sekali wanita yang sebenarnya orang asing ini, sangat berbeda dengan ibu kandungnya yang bahkan tidak pernah memberikan kehangatan untuknya.



Bersambung ...

Akan update setelah 20+ vote






Lemonade (Jae x Wendy) CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang